Oleh: Ms. Teewoel
Forum 'Apakabar' 7 Desember 2005, Rabu.
Judul thread: Re:Menjelang Tahun Budaya 2006... Budaya Top Down?
Bangkit dan Bergeraklah! Bersama Bentuk Keadaban Publik Baru Bangsa!
-------------------------------------------------------------------
MASYARAKAT
TIDAK MEMBUTUHKAN LAGI ORANG "PINTAR" TETAPI MASYARAKAT ITU SENDIRI HARUSLAH CERDAS DALAM MENENTUKAN NASIBNYA SENDIRI!
(President of the Kopitol world community: SeksPeare)
"Perlunya bertumbuh budaya unggul (culture of excellence)
yang berlandaskan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan negara: President
of Republic Indonesia: SBY (Kompas,1/12)
-------------------------------------------------------------------
Bung
Seks, Tulisan anda cerdas lho. Namun entah kenapa kok tidak banyak yg menanggapi. Dugaanku karena cara nulis dan buah
pikiran anda agak nyentrik. Banyak yg nggak bisa ngikuti. Terlalu jauh mendahului level pikiran para anggota apakabar
ini, meski saya lihat banyak dari mereka yang pintar-pintar. Posmo style, begitu orang bilang.
*Masyarakat itu
sendiri haruslah cerdas, begitu the president of the Kopitol world communities tulis. Perlu tumbuhnya budaya unggul berdasar
kemampuan diri sendiri, kata president of the republic of indonesia. Jadi anda memang sungguh jossh, tepats, big applause
for the our buddy Sekspeare! Titik tolak: masyarakat sendiri, diri-diri kita sendiri bersama, itu sangat penting saat
ini. Cerdas, kreatif, produktif, unggul. Itu pula sebabnya begitu banyak anggota milis apakabar ini seperti kurang sesuatu
yg penting, kalau tidak sehari saja melongok apa yg ditulis oleh rekan-rekan yg pintar-pintar dan cerdas-cerdas.
Pertanyaannya
yg menggelitik: mengapa, mengapa masyarakat sendiri yg harus cerdas? dan bagaimana bisa cepat bergerak bersama utk menjadi
cerdas?
Anda sudah memberi contoh ttg mengapa sikap dasar kita, sikap dasar masyarakat harus berubah: *
Boss (maksudnya presiden negeri ini dan semua pejabat penting - red) saling silih berganti, cerita tetap sama, bertahun
tahun kemudian bangsa ini ternyata masih amburadul… *Semua Poli-Tikus yang saling silih berganti selama ini
-dalam aspek tertentu- TELAH BERHASIL MEMBODOHI RAKYATnya dengan sukses, baik berdasarkan SIMBOL agama maupun nasionalisme.
(1)
Kalau boleh saya tulis kembali apa yg Bung Seks sinyalir atau tengarai, maka assesment atau kesan, penilaian atas budaya
yg membuat Indunesia ini amburadul dan tidak bisa maju itu adalah Budaya Top Down, Budaya Talk...talk...talk. Ini
persis sama dengan yg kesan saya dan kesan banyak orang di milis ini. Masih bisa ditambah urai lebih lanjut menjadi, budaya
menunggu, pasif, budaya gossip, buday ngrumpi, budaya om-do.
Namun kalau diperhatikan lebih teliti setelah era reformasi,
7 tahun terakhir ini, budaya itu mengalami kerusakan yg lebih parah. Tidak hanya talk, talk, talk, tapi juga setelah
talk-talk tidak ada konsensus bersama tapi malah menjadi mudah tersinggung, curiga, berkelahi dan mudah main kepruk,
hantam, serang, bunuh (budaya kekerasan yg massal dan individual). Ciri lainnya adalah makin serakah, karena itu dalam
survey country risk terakhir Indonesia masih dinilai sebagai negara yang paling korup di Asia Tenggara. Meski lembaga
yg melakukan survey itu memuji SBY yg sudah mulai melakukan beberapa tindakan menonjol utk memberantas korupsi. Kesimpulannya
dari pihak birokrat, pemerintah, tindakan pemberantasan korupsi belum sistematis. Dari pihak masyarakat belum ada kecerdasan
bersama utk dengan cepat mengubah budaya lama, budaya korupsi itu.
Baru-baru ini awam dan pimpinan gereja katolik seluruh
indonesia mengadakan musyawarah dan merumuskan budaya yg dilihat sekarang ini atau budaya yang harus ditinggalkan
dan diubah sbb:
"Berkaitan dengan situasi khas negeri kita,masukan dari keuskupan-keuskupan menunjukkan, bahwa
berbagai bentuk ketidakadaban publik yang paling mendesak untuk diatasi bersama dapat diringkas menjadi 17 pokok masalah
berikut, yaitu: Keretakan Hidup Berbangsa dan Formalisme Agama, Otonomi Daerah dan Masyarakat Adat, Korupsi (masalah budaya),
Korupsi (masalah lemahnya mekanisme kontrol), Kemiskinan, Pengangguran, Kriminalitas/Premanisme, Perburuhan, Pertanian,
Lingkungan Hidup (berkaitan dengan hutan), Lingkungan Hidup (berkaitan dengan non-hutan), Pendidikan Formal: Dasar-menengah,
Pendidikan Formal: Pendidikan Tinggi, Pendidikan Non-formal: Pendidikan (dalam) Keluarga, Pendidikan Non-formal: Kaum
Muda (termasuk masalah narkoba), Kesehatan, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Ketidaksetaraan Gender. "
Sejauh
mana tengara atau penilaian itu akurat, mungkin input atau masukkan dari rekan-rekan akan membantu utk melengkapi. Saya
malah mau menyampaikan yang penting namun belum atau tak terlihat yaitu yang berhubungan dengan masalah kelautan dan
masalah negeri ini dalam visi kepulauan bukan indonesia sebagai daratan. Selama ini fokus perhatian para pemimpin
diletakkan dalam kerangka Indonesia sebagai daratan saja. Dengan mulai melihat lautan dan pulau-pulau di luar pulau Jawa,
dan mengembangkannya bersama, akan ada babak baru dalam kerangka budaya bangsa ini.
(2) Untuk merubah budaya lama
diperlukan beberapa pokok penting yg harus dilakukan. Gerak dan Strategi bersama. Ini mungkin perwujudan dari yg Bung
Seks, the president of the Kopitol world communities tulis: "mencerdaskan" - masyarakat yang cerdas. Dalam konsep lama
budaya sering dilihat hanya statis, malahan pasif (yg lalu berakibat mudah dibodohi). Selebihnya, lalu ditafsirkan
sbg kesenian khas daerah dan khas Indonesia, termasuk yg tertulis (sastra), yg dimakan (makanan sbg hasil seni masak),
gerak-tari, cara bermasyarakat, dst. Lalu dalam praktek kemasyarkatan sebagai budaya sbg keadaban sudah diuraikan diatas,
keadaban bangsa kita sekarang ini telah rusak. Mungkin boleh dibilang rusak parah. Memerosotkan mutu kita sebagai
bangsa.
Diusulkan utk mulai mengembangkan atau merubah pandangan statis ttg budaya itu. Digambarkan sbg konsep
baru, karakter bersama ini sebagai suatu gugus kebiasaan atau habitus, cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak
yang berisi sikap untuk senantiasa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Seseorang atau sebuah komunitas dengan karakter
semacam itu selalu mempertimbangkan dampak tindakan apa pun terhadap kondisi hidup orang lain.
[Habitus can
be defined as a system of dispositions: durably acquired schemes of perception, thought and action, engendered by objective
conditions but tending to persist even after an alteration of those conditions. Bourdieu sees habitus as the key to
reproduction because it is what actually generates the regular practices that make up social life. It is the product
of social conditioning and so links actual behavior to class structure.]
Inilah isi dari yg anda tulis sebagai
masyarakat yg cerdas atau ingin menjadi cerdas. That's about the people like you always said, not just only capital.
Nah semakin enak dan cocok kan?
[Inspirasi cara memandang budaya nasional dari perspektif baru ini diambil dari
tokoh besar, sosiolog Perancis, almarhum Bourdieu (agak sulit mengucapkannya dlm lidah kita kata perancis ini - "bourdiyu"
bukan borju lho)]
(3) Kali ini kita belum sampai pada bagaimana persisnya harus cerdas itu, mungkin anda sudah
punya rumus-rumus yang lebih cerdas dan sederhana. Bourdieu sendiri secara cerdas melihat yg anda maksud dengan globalization,
development is about the people itu dengan mempertimbangkan capital. Berbeda dengan para neoliberalis (Bourdieu pernah
ikut demo menentang neoliberalisme di paris), Bourdieu melihat people atau masyarakat itu pertama: selalu punya habitus
(keadaban-kebiasaan-cara bersikap dst) dan punya medan gerak yg disebut field.
["Instead of analyzing societies
in terms of classes, Bourdieu uses the concept of field: a social arena in which people manoeuvre and struggle in
pursuit of desirable resources. A field is a system of social positions, structured internally in terms of power relationships.
Different fields can be quite autonomous and more complex societies have more fields."]
Apa yang dimiliki dan
dianggap penting oleh masyarakat? Bukan hanya laba, ekonomi, kemewahan. Bourdieu melihat masyarakat mempunyai 3 capital:
economic capital, cultural capital, social capital.
[In The Forms of Capital (1986) Pierre Bourdieu distinguishes
between three forms of capital: economic capital, cultural capital and social capital. He defines social capital as
"the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or
less institutionalized relationships of mutual acquaintance and recognition."]
Saya setuju dengan pandangan Bourdieu
ini. Kerangka dari bagaimana kita bersama bisa cerdas, tidak hanya pasif atau bahkan malahan dibodohi oleh para politikus,
mestilah melihat bagaimana tiga modal masyarakat itu kita kembangkan. Modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial.
Mungkin
tanggapan saya ini tidak memuaskan Bung Seks yg tentu biasanya tidak suka dengan institusi atau established scholar.
Bangkit
dan Bergeraklah! Bersama Bentuk Keadaban Publik Baru Bangsa! Of course sambil tidak lupa melakukan religious practice:
menyeruput kopi atau teh :)).
*** teewoel
|