Garis
TaiGigical Intelligence - Cat Intelligence - The Eagles Intelligence
- Warkopiah Intelligence- Emotional Intelligence – Spiritual Intelligence – Bla Bla Bla Intelligence.
Sketsa
Suatu petang, seorang Ibu menegur anaknya, ketika dia mendapatkan bertumpuk-tumpuk
tusuk gigi di laci, dalam kamar si anak. Temuan ini sekaligus menjawab fenomena tentang demikian cepatnya tusuk gigi yang
disiapkan di meja makan keluarga, amblas, hilang ditelan bumi.
˝Untuk apa semua tusuk gigi itu nak?˝ Tanya sang Ibu,
berharap cemas, jangan-jangan anaknya tersebut –seperti yang dipopulerkan media-media yg kurang kerjaan itu- masuk kategori
Indigo. (INi DIa si anak GOblok)
˝Ma, ingat waktu aku kecil dulu, waktu aku masih punya gigi
dua biji, mah?˝ Jawab sang anak, enteng lalu melanjutkan, ˝ Waktu itu, aku nanya sama mamah... Mama..Mama... Apa
itu gigi, mah?˝
˝Uhm, iya, mama ingat nak... Terus?...˝ Si Ibu masih prihatin.
˝Waktu itu, mama jawab bahwa gigi adalah, tempat dimana tusuk
gigi melakukan fungsinya sebagai tusuk gigi... Itu jawab mama, kan? Jadi, sejak itu saya nggak mau kehilangan tusuk gigi,
biar gigiku makin banyak, kuat dan sehat... ˝
Jawaban sang Ibu, membuat fikiran anaknya terfokus pada tusuk gigi,
tapi bukan dan tidak memberi jawaban pada si anak, mengenai pertanyaan ˝apa itu gigi˝, seperti yang dia tanyakan
sejak kecil.
Mungkin ada Ikhwanul Kafein yang bertanya, bukankah asaz manfaat
bagi pertusuk gigian, juga sama pentingnya dengan menjawab apa itu gigi? Sehingga jawaban sang Mama, sekalipun -katakanlah-
out of focus binti bias, tetap menimbulkan inisiatif sang anak -dengan persepsinya sendiri- untuk memiliki gigi yang banyak,
sehat dan kuat?
Secara kasat mata, aktifitas tusuk-menusuk gigi adalah juga dalam
rangka perawatan kesehatan dunia pergigian. Akan tetapi, jangan kita lupa bahwa lingkup kerja para Tusuk Gigi itu hanya berkisar
di sela-sela gigi! Sementara kaum Tai Gigi, dengan ˝kecerdasannya˝ tidak hanya exsist di sela-sela gigi, bukan?
Proyeksi
Sketsa di atas, saya tuliskan dalam DAS KOPIkenTAL kali ini, dengan
beberapa alasan, diantaranya:
1. Untuk memproyeksikan apa yang saya tuliskan sebelumnya
dalam ˝The Eagles Intelligence˝ berikut:
Quote: Kecerdasan itu sendiri, secara akademik takkan mampu mengupaskannya
tuntas, karena hanya akan berputar-putar kepada penggunaan-penggunaan istilah saja. Kata ˝intelligence˝ sering didampingkan
dengan kata yg lain (misalnya, emotional, spiritual, dll) tidak lebih dari upaya akademis untuk -teoritikli- menjelaskan apa
itu ˝kecerdasan˝. End of quote. (The Eagles Intelligence, by Kopitalisme)
Masih ada beberapa alasan lain, akan saya susulkan.
Perspektif
Pada point 1 proyeksi di atas, adalah merupakan perspektif secara Kopitalistik
(haha!), bahwa term ˝kecerdasan˝ berusaha diteorikan melalui basis kata-kata (teoritikli-akademikli) dengan menggandeng
term-term seperti ˝emotional˝ dan ˝spiritual˝.
Penggandengan-penggandengan ini, menimbulkan pertanyaan bagi saya,
apakah penempatan term-term ˝emotional˝ dan ˝spiritual˝ di atas mampu menjelaskan tuntas tentang apa ˝Kecerdasan˝
itu sendiri? Seperti analogi dalam sketsa di atas, dimana sang Ibu menempatkan ˝tusuk gigi˝, digunakan untuk menjelaskan
˝apa itu gigi˝ dalam rangka menjawab pertanyaan si anak?
Dalam sebuah diskusi berjudul ˝Sebuah Pertanyaan Tentang Kecerdasan˝
dibuka oleh sohib Audivax, dimilis yang diasuhnya yakni milis Psikologi Transformatif. Gedubrak!... Tiba-tiba, dari dalam
samudra yang tidak jelas sedalam apa dasarnya, ada ungkapan sebagai berikut: ... Namun paling tinggi kemampuan
berpikir itu dari jiwa [spirit]. ˝Klaim˝ ini, diungkapkan oleh Goenawan Goenardjoadi, Penulis beberapa buku tentang Nurani, tinggal di
Jakarta.
Terjadi ˝tulalitization˝ (tulalitization: terjadinya
proses peng-tulalit-an, tulaiiit... tulaliittt... mirip suara koneksi telpon yang kagak nyambung itu lho) Antara mana yang
paling tinggi kemampuan berfikir dari jiwa, atau kemampuan berfikir dari gigi, kemampuan berfikir dari lubang hidung, atau
dari mana.
Karena, secara hirarkis, tentunya jika ada yang paling tinggi,
maka ada yang cukup tinggi, ada yang tinggi ajah, ada yang rendah, dst. Yang sama sekali tidak nyambung sebagai upaya menjawab
˝Pertanyaan Tentang Kecerdasan˝. ( menurut kacamata Kopitalistik, ˝Pertanyaan Tentang Kecerdasan˝ tersebut
seyogianya hadir setelah pertanyaan ˝Apa Itu Kecerdasan˝ (apa itu gigi) telah terjawab, tanpa embel-embel tusuk
gigi, ekh, maksud saya tanpa embel-embel emotional, spiritual, spiral, kontrasepsi, dan lain sebagainya.
Pun tak jelas alat apa yang digunakan untuk mengukur soal
˝ketinggian˝ yang dimaksud, sehingga -oleh Mas Goen- terdapat klaim bahwa jenis berfikir tersebut adalah yang ˝paling
tinggi˝.
Disitu juga disebutkan bahwa ada jenis kemampuan berfikir
dari jiwa. Padahal anak SMP-pun tahu bahwa satu-satunya organ berfikir manusia adalah otak. Jika seandainya diketemukan organ
yg melakukan kegiatan berfikir selain otak, maka gegerlah dunia sains, setidaknya, dalam hal ini, Biologi!
Dari sini, pada gilirannya ˝tulalitization˝ ini akan coba
saya proyeksikan kepada kenyataan psiko-kultural masyarakat Indonesia, melalui apa yang disebut sebagai ˝Tulalitology˝.
Serta kaitannya terhadap anggapan bahwa dengan hanya melalui anggaran Pendidikan 20% APBN adalah satu-satunya solusi yang
dapat memastikan terciptanya ˝kecerdasan bangsa˝ seperti yang diamanatkan oleh Prostitusi, duh! Salah mulu, maksudnya,
Konstitusi!
(Bersambung)
May FUN be with you
Kopitalisme
http://kopitalisme.tk
http://warkop-institute.blogspot.com