Kapitalisme dan Hukum (Oleh Poltak Hotradero)
At 12:51 PM 7/11/2005, you (SeksPeare) wrote:
>Ha..ha..ha...
Yang aku tunggu adalah jawaban tentang pertanyaan seputar
>BAGAIMANA MEMINIMALISIR ekses kapitalisme sesuai statemen
anda itu. Kan
>jadinya aku bisa juga bertanya lagi... Apasih "Kultur" itu?... Iya to?
>Lalu ujung ujungnya ngalor
ngidul diskusi soal definisi terusssss.
=========
Poltak Hotradero:
Jawaban saya sebenarnya sudah ada secara tersirat - yaitu Rule of
Law.
(makanya saya borongkan dengan pertanyaan seputar itu).
Undang-undang dan peraturan disusun oleh wakil rakyat (yang
benar-benar
bisa dijewer oleh rakyat yang merasa tidak diwakili), jadi asumsinya
undang-undang dan peraturan yang disusun
sudah merangkum kebutuhan
rakyat. Tentu saja ini berarti kita butuh wakil rakyat yang punya
KEMAMPUAN TEKNIS - ketimbang
orang-orang yang cuma sekadar beken. Beken
tapi nggak bisa kerja apa-apa - ya lebih baik dilautkan saja... Coba saja
lihat
komposisi DPR atau DPRD kita - berapa banyak yang ngerti
ekonomi? berapa banyak yang ngerti soal hukum? berapa banyak yang
ngerti
soal sosial? Nggak banyak - makanya juga nggak menghasilkan.
Bandingkan dengan di Amerika yang begitu meledak
kasus Enron - langsung dua
wakil rakyatnya ambil inisiatif bikin Undang-Undang. Namanya
Sarbanes-Oaxley Act yang disusun
oleh Senator Paul Sarbanes (Maryland) dan
Representative Michael G. Oxley (Ohio). Undang-undang langsung keluar dan
disetujui
di House of Representative dengan suara 423-3 dan di Senat
99-0. Begitu disetujui - langsung setiap perusahaan yang listing
di
Wallstreet pada nurut dan nggak berani ngebantah.
Cuma perlu waktu 6 bulan dari bangkrutnya Enron sampai dengan
Sarbanes-Oaxley
Act resmi menjadi undang-undang.
Kapitalis sih di mana-mana selalu adaptif kok.
Kalo dilarang ini-itu atau ditetapkan
batas minimal ini-itu - mereka pasti
nurut (walaupun awalnya ngedumel) -- wong yang namanya rejeki bisa datang
dari
mana aja kok - sejauh punya otak dan punya modal. Logikanya gampang
-- mereka tinggal ngitung ongkos penyesuaian dibanding
potensi perubahan
pendapatan - kalo cocok ya mereka akan tetap ngebisnis -- kalo nggak cocok
ya mereka akan cari tempat
usaha atau cari bidang usaha lain.
Buat kapitalis yang repot adalah kalau nggak ada kepastian
hukum. Masalahnya
sederhana -- ongkos bisnis jadi nggak jelas..! Terlalu
banyak pengeluaran tak terduga dan sebagai akibatnya resiko bisnis
jadi
tambah gede.
Gimana cara mengkompensasi resiko yang naik? Ya naikin profit margin
(berfungsi sebagai buffer
for rainy days) - atau ya sekalian ikut nyemplung
dengan pusat kekuasaan - bukan cuma untuk kepentingan sendiri - tapi
juga
untuk menghalangi kapitalis lain dari melakukan hal yang sama. Dan pada
keadaan seperti inilah seorang kapitalis
sudah mengkhianati kapitalisme -
karena ia sudah melanggar dan merampas prinsip nomer dua dari kapitalis
lain (Hak untuk
berusaha secara bebas).
=========
SeksPeare:
>Mumpung ada seorang ekonom, apakah tidak sebaiknya
anda mengupas apa itu
>CSR...Ini misal kata, apa kendalanya (CSR itu) jika di terapkan di
>Indonesia, dimana pertanyaan
menggantung seputar konsep itu... Apa way
>outnya dll.... Ketimbang hilir mudik ...talk...talk...talk soal *Ancient
>Terms*
itu (Kapitalisme etc) ... Saya sih menghormati *posisi* anda
>sebagai pakar ekonomi disini, kalau aku yang jelasin..Well,
mending aku
>yang bergelar ekonom kalau gitu...kan?:)
=========
Poltak Hotradero:
Kebetulan ada teman di UK sini yang khusus belajar soal CSR - dan aku ikut
diskusi
soal CSR Indonesia. Jadi ada gambaran dikit lah tentang itu.
Corporate Social Responsibility (CSR) semuanya tergantung
aturan dan
undang-undangnya. Kalo nggak jelas (sebagaimana kasus di Indonesia) - maka
hitungan bisnisnya jadi repot
- dan resiko bisnis jadi meningkat.
CSR sudah diterapkan di Indonesia dan sudah ada aturannya (berbentuk PP)
tapi
masih sangat-sangat nggak jelas definisi, batasan, dan petunjuk
pelaksanaannya. Juga sering bentrok dengan aturan lain
- apalagi dengan
aturan Pemda yang bisa cepat berubah kayak jalannya bajaj. Maklumlah dari
awal sengaja diambangkan
supaya bisa dijadikan sarana buat pemerasan
perusahaan-perusahaan besar. Dan jumlahnya nggak sedikit.
Apa perusahaan
besar bisa balas dendam atau "retaliate"...? Ya tentu saja
bisa - yaitu dengan cara ogah mengembangkan bisnis. Biarin aja
segitu-segitu
ukurannya. Masa bodo. Kalau punya keuntungan lebih baik
dikirim ke luar buat buka bisnis baru yang nggak diperas orang...
Alhasil,
seluruh stakeholders juga yang rugi...
Kapitalis bukan nabi, bukan malaikat -- tapi mereka juga bukan
iblis.
Isinya manusia biasa kok.
Motif untuk mencari keuntungan sebenarnya bila dimanfaatkan dan
dikendalikan secara tepat
(semisal lewat kompetisi dan regulasi) bisa kok
dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama.