MENJELANG TAHUN BUDAYA 2006… BUDAYA TOP DOWN?
Atau Budaya Talk…Talk…Talk…?
Berikut jaringan CIAs (Cafeist Intelligent Agents) mengirimkan dua buah cuplikan dari 2 tokoh Indonesia,
yang kontextnya cukup bersinggungan dengan apa yang menjadi 'spirit' dari "Hukum Hukum Kopitalisme"…
Namun seperti biasanya, saya nggak makan dengan pujian, sanjungan jika saya masih mendapatkan 'celah'
untuk mengejek dan mentertawakan diri/bangsa kita… Yuk, mari kita mulai dengan ucapan "May FUN be with you"...
Habibie, pada malam ramah tamah dengan Pimprov Sulsel, 3 Desember 2005. Beliau bersabda:
"Sekali lagi pendidikan harus didahulukan. Kita punya Unhas, kita punya Universitas Sam Ratulangi. Itu
yang dikembangkan kualitasnya. Jangan hanya berburu kuantitas lulusan, kualitas diabaikan. Anda tidak tahu, persaingan di
luar sangat keras, hanya yang cerdas dan pintar bisa 'survive' saat ini," jelasnya.
Komentar The Cafeist:
Bah!... Untunglah saya tidak menghabiskan umur saya dalam institusi institusi
pendidikan formal tersebut.
Nah, bagaimana dengan perspektif "Kopitalisme" terhadap' sabda sang mantan penguasa' tersebut
diatas?
Perhatikan kata kata cerdas dan pintar yang sengaja saya pertebal. Lalu
hubungkan dengan pesan saya di forum ini tertanggal 28 November 2004. (Msg #65008)
Sbb:
"... Nah, 'kecerdasan' ini tidak dapat dibangun HANYA melalui 'text
book'! Seorang 'intelektual' boleh dan sah saja dikatakan
'pintar'... tetapi
BELUM
TENTU CERDAS!"
Tentang Kepintaran.
Bukankah kita tidak kekurangan orang pintar? Jika mengukur kepintaran sesuai dengan berfikir
secara text book thinking? Orang pintar kita banyak!
Apalagi PINTAR PIDATO, PINTAR BERETORIKA… Karena umumnya kita digerogoti oleh Poli-Tikus…
Dan? Apa hasilnya?...
Bukankah selama 7 tahun ini banyak dari mereka yang 'pintar' itu menjadi pengamat pengamat
kagetan di media media nasional kita? Bukankah mereka semua bertitel seabrek abrek?
Jika masyarakat masih begitu saja percaya dengan 'orang pintar' demikian, maka silakan
menggigit jari, kecewa dan kecewa… Sudah bukan waktunya rakyat disuguhi teori teori dan janji janji muluk muluk dari
para 'orang pintar'. Karena -sesuai konteks berIndonesia- sejarah telah membuktikann
ucapan saya tersebut.
Tentulah tidak adil, jika saya menyalahkan Habibie secara membabi buta, akibat masih amburadulnya
bangsa ini, karena hukum pasar waktu itu berhasil dibentuk oleh rival rival politiknya di parlemen, juga oleh pengamat semodel
AS Hikam (kemana yah mereka ini)
Ada baiknya saya kutip 'pembelaan diri' Prof. Habibie, sbb, terserah Ikhwanul Cafיin menilainya:
" Inflasi 78 persen saya terima dari Soeharto, saya serahkan ke DPR 12 persen. Kurs rupiah yang kuat
dan sebagainya. Masalah pelepasan Timor Timur adalah upaya untuk mencegah perang saudara. Tapi, LPJ saya ditolak, tak masalah,"
tandas Habibie.
Demikianlah, 'Hukum Pasar' berlaku, hasilnya LPJ tertolak. Boss saling silih berganti,
cerita tetap sama, bertahun tahun kemudian bangsa ini ternyata masih amburadul…
Tentang Kecerdasan
Bahwa yang saya mau soroti disini adalah "Masa tenggang waktu 7 tahun dari 1998 –
2005 sekarang ini adalah akibat dari "Hukum Pasar" dari masyarakat itu sendiri, dibentuk atau tidak. Artinya jika bangsa kita
selama ini masih melarat, hal tersebut adalah KEPUTUSAN RAKYAT itu sendiri, dalam hal ini mereka telah mempunyai kesempatan
menentukan pemimpinnya melalui jalur 'Demokrasi'.
Dan sesuai kenyataan, semua Poli-Tikus yang saling silih berganti selama ini -dalam aspek
tertentu- TELAH BERHASIL MEMBODOHI RAKYATnya dengan sukses, baik berdasarkan SIMBOL agama maupun nasionalisme. Jadi asumsi
saya adalah:
MASYARAKAT TIDAK MEMBUTUHKAN LAGI ORANG "PINTAR"
TETAPI MASYARAKAT ITU SENDIRI HARUSLAH CERDAS DALAM MENENTUKAN NASIBNYA SENDIRI!
Agar tidak lagi begitu mudah untuk diperbodoh oleh janji janji maupun teori teori. Sambil
mencetak sendiri profesi dan penghasilannya masing masing.
Tentu ada yang bertanya, bagaimana menjadikan diri sendiri sebagai makhluk cerdas dengan
kondisi 'mental kalah' para guru kita? Bagaimana mungkin menghasilkan 'mental juara' lulusan sekolahan lalu kemudian mereka
menuju perguruan tinggi? Bukan baru sekarang pendidikan kita ringsek begitu, sudah belasan tahun sebelumnya 'sinyal' itu telah
nampak...
Semua hal tersebut akan terkisah dalam tokoh kartun 'PatanYali' dalam buku "Hukum Hukum
Kopitalisme" (The Cafיist Series)
Selanjutnya mari kita mencerna apa sabda maha penguasa saat ini, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, sbb:
"Perlunya bertumbuh budaya unggul (culture of excellence) yang berlandaskan kesadaran
akan kemampuan diri sendiri dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan negara (Kompas,1/12). Keinginan
presiden ini disampaikan pada peluncuran buku “The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness” yang diterimanya
dari pengarang bukunya, Stephen R Covey, melalui Presiden Direktur Kelompok Gramedia, Jakob Oetama, Rabu, 30 November, di
Jakarta Convention Center."
Bagaimana Perspektif "Kopitalisme" terhadap statement tersebut diatas?
Kurang lebih 5 bulan lalu, 12 Juli 2005, sebelumnya, telah termaktub dalam Hukum Hukum
Kopitalisme I, Apakabar, bahwa:
PERTAMA:
Quote: ... Dengan realitas sedemikian rupa, sehingga pada fase 'etika' sesuai -konsep kopitalisme- saya kategorikan sebagai
'missing link' pembangunan mental dan karakter bangsa kita. Missing link itu terjadi karena 'Inclussive Education' dalam meminimalisir
efek negatif sebuah peradaban -based on religious, ecomony, socialism, capitalism, ism-ism- nampaknya tidak ditempatkan dalam
fase 'etika' ini…
Dengan demikian apa yang terjadi dalam kehidupan nyata? Setiap masalah jawabannya adalah kalau bukan merah, kuning, ijoh...
POLITIS!
KEDUA:
Quote: Saya tetap mempertahankan hipotesis saya bahwa dengan -demokrasi plus demokreatif- bangkit tidaknya Indonesia,
tergantung rakyatnya sendiri... Kenapa?
Pada fase 'etika' merupakan fase yang bersinggungan dengan aspek universal setiap individu maupun lingkungannya... 'Etika'
sebuah fase yang tidak hanya terdapat 'missing link' tetapi juga diperburuk dengan fenomena kaum politis-religius dalam menginterpretasikan
TANTANGAN ZAMAN...
Artinya peran sosiolog dan budayawan seharusnya mampu masuk pada fase ini. Ketimbang berteori isme isme sambil bermanis manis kapitalis
humanis. Mereka -budayawan & sosiolog- seharusnya mampu membangun atau memformat sebuah mindframe guna membentuk ketegaran
karakter individual lengkap dengan 'sample' dan 'feetback', yang lalu disodorkan ke tengah tengah masyarakat dan selanjutnya
masyarakatlah yang memilih mau tetap menjadi 'lampu lalu lintas' atau berinisiatif melakukan sesuatu yang kreatif-konstruktif-positif-produktif
guna kebaikan bersama secara tradisional-nasional-internasional.
Apa yang aneh dan lucu dalam statement 'Sang Maha Penguasa" kita tersebut diatas?...
Bersambung ke jilid II
SeksPeare
Catatan:
(Buku "Hukum Hukum Kopitalisme" nantinya hanya dijual melalui
jaringan mahasiswa, lsm, dan organisasi organisasi social lainnya, tidak
dijual ke toko buku 'mainstream' serta distribusinya bertepatan Hari
Bumi Internasional)