Ekonomi tanpa Ideologi!
H.Bambang Eka Wijaya
"HARI gini baca buku Adam Smith, The Wealth of Nation?" entak Umar.
"Itu diskursus abad ke-18, kini sudah abad ke-21!"
"Juga antitesisnya, Das Capital!"
timpal Amir. "Sejak tiga abad itu dunia disadarkan, untuk membangun ekonomi sebuah negara perlu ideologi sebagai bangunan
dasar dan orientasi warganya! Indonesia, yang telah 60 tahun merdeka, tak punya ideologi sebagai dasar pembangunan ekonominya!"
"Kan ada Ekonomi Pancasila!" tegas Umar,
"Tapi binatang apa Ekonomi Pancasila itu belum
punya jabaran ilmiah komprehensif seperti deskripsi kapitalisme Adam Smith maupun sosialisme Karl Marx!" sambut Amir. "Bung
Karno mengarah ke Marxis, Jenderal Soeharto mempraktekkan kapitalisme malu-malu! Sekarang, zaman liberalisasi, usaha mikro,
kecil dan menengah--UMKM--diberdayakan untuk melawan raksasa multinasional dari sektor industri, perdagangan sampai retail!"
"Lebih jauh lagi, ekonomi kita dijalankan berdasar pendiktean lembaga donatur seperti Bank Dunia, IMF!" timpal Umar.
"Itu yang membuat ekonomi tanpa fondasi ideologis itu mudah terombang-ambing oleh tekanan luar-dalam, sehingga janji koalisi
kerakyatan berpihak rakyat tak terwujud!" tegas Amir. "Buktinya, pemerintah menaikkan harga BBM dua kali setahun, dengan tingkat
kenaikan yang tak mampu dipikul mayoritas rakyat! Alasan menghapus subsidi semua sepakat, tapi sebatas kemampuan rakyat!"
"Dan terbukti, kebijakan tahun pertama pemerintahan SBY-MJK itu menyendat daya tumbuh perekonomian yang sudah mulai tampak
pada pemerintahan sebelumnya!" sambut Umar. "Tapi apakah masih relevan, setelah sejauh ini perjalanan bangsa tanpa arah memikirkan
ideologi bagi ekonominya?"
"Jepang melakukan Restorasi Meiji di tengah kebangkitan industri
Eropa!" jawab Amir. "Industrialisasi Jepang dengan semangat budaya bangsanya itu berlanjut sampai kini!"
"Pokoknya ada dasar orientasi ideologis!" timpal Umar. "Adam Smith sendiri dikenal sebagai filsuf moral, mendasari kajian
dengan standar hidup buruh sebagai prinsip produksi! Dalam bahasan itu dia angkat hukum supply-demand untuk menjelaskan tingkat
upah, laba, rente, dan harga!"
"Sementara kebijakan buruh kita tak jelas, terus ditekan
dengan pendapatan minimal! Tiga abad lalu 'Sang Bapak Kapitalisme' Adam Smith sudah membahas pengaruh standar hidup buruh
terhadap moral dan intelektual penduduk!" tegas Amir. "Masalah kita, apa secara ideologis sudah benar menyerahkan eksploitasi
sumber alam dan bisnis besar kepada asing, sedang buat rakyat sendiri cuma 'bagi-bagi permen' lewat UMKM?"
"Tanpa orientasi ideologis, hal itu akan selalu benar!" timpal Umar. "Seperti juga sukses pemerintahan sebelumnya mencatat
pertumbuhan ekonomi lewat menjual murah aset-aset negara yang menguntungkan, dari Indosat, BCA sampai Bank Niaga!"
"Begitulah pembangunan ekonomi tanpa standar ideologi!" tegas Amir. "Pilihan selalu apa yang terbaik bagi penguasa, bukan
buat rakyat atau bahkan negara--yang suatu saat kehabisan aset dan kekayaan alamnya!" ***
H.Bambang Eka Wijaya
"HARI gini baca buku Adam Smith, The Wealth of Nation?" entak Umar.
"Itu diskursus abad ke-18, kini sudah abad ke-21!"
"Juga antitesisnya, Das Capital!"
timpal Amir. "Sejak tiga abad itu dunia disadarkan, untuk membangun ekonomi sebuah negara perlu ideologi sebagai bangunan
dasar dan orientasi warganya! Indonesia, yang telah 60 tahun merdeka, tak punya ideologi sebagai dasar pembangunan ekonominya!"
"Kan ada Ekonomi Pancasila!" tegas Umar,
"Tapi binatang apa Ekonomi Pancasila itu belum
punya jabaran ilmiah komprehensif seperti deskripsi kapitalisme Adam Smith maupun sosialisme Karl Marx!" sambut Amir. "Bung
Karno mengarah ke Marxis, Jenderal Soeharto mempraktekkan kapitalisme malu-malu! Sekarang, zaman liberalisasi, usaha mikro,
kecil dan menengah--UMKM--diberdayakan untuk melawan raksasa multinasional dari sektor industri, perdagangan sampai retail!"
"Lebih jauh lagi, ekonomi kita dijalankan berdasar pendiktean lembaga donatur seperti Bank Dunia, IMF!" timpal Umar.
"Itu yang membuat ekonomi tanpa fondasi ideologis itu mudah terombang-ambing oleh tekanan luar-dalam, sehingga janji koalisi
kerakyatan berpihak rakyat tak terwujud!" tegas Amir. "Buktinya, pemerintah menaikkan harga BBM dua kali setahun, dengan tingkat
kenaikan yang tak mampu dipikul mayoritas rakyat! Alasan menghapus subsidi semua sepakat, tapi sebatas kemampuan rakyat!"
"Dan terbukti, kebijakan tahun pertama pemerintahan SBY-MJK itu menyendat daya tumbuh perekonomian yang sudah mulai tampak
pada pemerintahan sebelumnya!" sambut Umar. "Tapi apakah masih relevan, setelah sejauh ini perjalanan bangsa tanpa arah memikirkan
ideologi bagi ekonominya?"
"Jepang melakukan Restorasi Meiji di tengah kebangkitan industri
Eropa!" jawab Amir. "Industrialisasi Jepang dengan semangat budaya bangsanya itu berlanjut sampai kini!"
"Pokoknya ada dasar orientasi ideologis!" timpal Umar. "Adam Smith sendiri dikenal sebagai filsuf moral, mendasari kajian
dengan standar hidup buruh sebagai prinsip produksi! Dalam bahasan itu dia angkat hukum supply-demand untuk menjelaskan tingkat
upah, laba, rente, dan harga!"
"Sementara kebijakan buruh kita tak jelas, terus ditekan
dengan pendapatan minimal! Tiga abad lalu 'Sang Bapak Kapitalisme' Adam Smith sudah membahas pengaruh standar hidup buruh
terhadap moral dan intelektual penduduk!" tegas Amir. "Masalah kita, apa secara ideologis sudah benar menyerahkan eksploitasi
sumber alam dan bisnis besar kepada asing, sedang buat rakyat sendiri cuma 'bagi-bagi permen' lewat UMKM?"
"Tanpa orientasi ideologis, hal itu akan selalu benar!" timpal Umar. "Seperti juga sukses pemerintahan sebelumnya mencatat
pertumbuhan ekonomi lewat menjual murah aset-aset negara yang menguntungkan, dari Indosat, BCA sampai Bank Niaga!"
"Begitulah pembangunan ekonomi tanpa standar ideologi!" tegas Amir. "Pilihan selalu apa yang terbaik bagi penguasa, bukan
buat rakyat atau bahkan negara--yang suatu saat kehabisan aset dan kekayaan alamnya!" *** Dari
Lampung Post
|