SIDIK PRAMONO
Reformasi berjalan hampir delapan tahun sejak turunnya Presiden Soeharto, Mei 1998. Tapi, sepanjang itu pula keraguan dan
kekecewaan terus mengemuka karena perbaikan belum juga memuaskan. Rezim otoriter runtuh, namun elite berkuasa masih dibagi
di antara pewaris kekuatan lama. Perubahan besar tak juga terwujud.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, semua itu terjadi karena
perubahan mendadak dan kemudian tidak ada impian besar yang memandu perjalanan bangsa. Berikut petikan wawancara dengan J
Kristiadi yang ditemui Kamis (5/1) di kantornya di Tanah Abang, Jakarta.
Apa yang kita capai setelah hampir 8 tahun reformasi?
Yang paling utama, sistem kekuasaan yang otoritarian sudah runtuh. Kini kita dihadapkan dengan tantangan untuk membangun
sistem kekuasaan di mana rakyat benar-benar berdaulat. Rumit memang, bahkan hampir muskil dilakukan dalam waktu singkat. Bahayanya,
jika perubahan yang sangat besar itu tidak diikuti perbaikan, justru orang-orang dengan ideologi berlawanan dengan demokrasi
akan hidup subur. Ada ungkapan sinis, democracy is the art of achieving nothing by doing a lot of thing.
Tentu saja, sudah ada beberapa kemajuan. Sekalipun tertatih-tatih, bangsa yang lama terpasung ini mulai bangkit dan bergerak.
Proses pemilihan umum sangat luar biasa dan memesona. Sejak Pemilu 2004, sudah berapa puluh kompetisi memperebutkan kekuasaan
yang terjadi. Kita harus bangga karena korbannya relatif sedikit. Ini yang menjadi kontra teori dari Barat karena Indonesia
yang mayoritas Muslim bisa berdemokrasi. Hal itu memberikan ilustrasi, bangsa kita punya peradaban untuk menjadi bangsa besar.
Hanya saja, apa yang mau dijadikan agenda bersama yang komprehensif, mau dibawa ke mana bangsa ini, belum ada. Perubahan ini
memberikan dua muka, memberikan harapan dan juga muka yang gela karena ada pertanyaan soal hasil, ada krisis representasi,
tidak ada perubahan sikap. Dua wajah ini yang harus kita hadapi.
Semua perubahan terkesan sporadis, tanpa agenda.
Ini terjadi karena perubahan yang sangat mendadak. Aktor pelaku perubahan merupakan pewaris struktur dan kultur politik
lama. Berbeda dengan Spanyol yang bisa berubah dengan potong generasi. Kita tidak. Tapi di sisi lain, apa yang terjadi memberikan
harapan kita ini bukan bangsa yang ecek-ecek. Tinggal bagaimana kekuatan perubahan yang positif itu didukung wacana yang konstruktif
dan mendasar, pemikiran besar dan berjangka panjang.
Apa akibatnya muka gelap perubahan tadi?
Sekarang ini masih mimpi buruk. Rakyat sudah tidak merasakan, tidak mendapat bukti dari apa yang dikampanyekan elite. Mimpi
buruk ini jika semakin parah akan menjadi ideologi alternatif atas Pancasila yang sebenarnya baik-baik saja. Ini akan menjadi
anarkisme sosial karena tidak ada harapan. Orang miskin sudah €memakan€ orang miskin. Kemiskinan menjadi ayah
kandung revolusi dan kriminalitas. Kita akan bisa masuk situasi yang destruktif. Di negeri seperti ini, kekayaan alam sudah
menjadi kutukan. Lihat saja Nigeria atau Sudan. Minyak kita, tembaga kita habis, namun apa yang kita peroleh?
Catatan lain reformasi?
Perubahan ini terlalu didominasi elite politik sehingga harus ada sektor lain yang mengimbangi dengan mengembangkan perdebatan
lebih mendasar, seperti evaluasi atas perubahan itu sendiri. Kita harus memperdebatkan impian bangsa ini ke depan. Setengah
abad merdeka, delapan tahun reformasi, kita masuk ke atmosfer yang serba pragmatis, oportunis. Tidak ada prinsip lagi. Ideologi
tidak ada, melulu kepentingan. Lihat saja, koalisi partai politik bertentangan secara diametral dengan asumsi sebelumnya.
Bagusnya, bangsa ini tidak terkotak-kotak dalam ideologi sempit.
Bagaimana mengawali perubahan besar itu?
Pemikiran sporadis tidak bisa mengisi kekosongan reformasi. Yang bisa adalah publik bersama media mengembangkan wacana
konstruktif, apa yang masih mungkin dilakukan bangsa besar dan heterogen ini. Bagaimana sistem kekuasaan kita, sistem pemerintahan,
kepartaian, sistem pemilu yang cocok. Meskipun konstitusi sudah diamendemen, banyak hal harus dipikir kembali, disusun lebih
komprehensif. Yang terakhir, soal ideologi, apa yang bisa menyatukan bangsa ini. Tidak ada lagi yang bisa menyatukan roh bangsa
ini. Pancasila kehilangan kepercayaan, terdegradasi karena telanjur banyak diselewengkan. Produk penataran yang indoktrinatif
hanya melahirkan kemunafikan. Itu yang harus dikembalikan. Perubahan dengan perdebatan mendasar, impian bangsa, value yang
secara universal bisa menyatukan bangsa ini.
Bagaimana dengan elite lama, termasuk militer?
Masyarakat sudah makin berani. Kalaupun itu tidak berkembang, mungkin karena tidak mendapat dukungan cukup besar dari media.
Kekuatan masyarakat masih tercerai-berai. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat ini tidak punya satu isu yang bisa menyatukan.
Kelompok militer sudah tidak punya kekuatan dalam politik. Yang berbahaya justru orang sipil yang militeristis. Lihat saja,
mana ada partai yang demokratis? Partai politik feodalistik dan oligarkis, berjuang untuk kepentingan sendiri. Ini yang lebih
berbahaya ketimbang militer. Partai politik itu pilar demokrasi. Tapi mau ke mana demokrasi kalau pilar demokrasi justru tidak
demokratis?
Lantas, dari mana kita mulai?
Proses reformasi tidak bisa diberikan hanya kepada elite politik, lebih-lebih kepada negara. Masyarakat harus aktif ikut
ambil bagian. Bentuknya bisa bermacam-macam, bisa orang per orang, lewat LSM, dan media. Harus ada kekuatan penekan untuk
mendorong debat publik yang konstruktif dan terfokus. Mimpi satu orang bisa menjadi sesuatu, mimpi banyak orang bisa menjadi
kekuatan. Lihat saja saat amendemen konstitusi, kekuatan masyarakat sangat berperan sehingga konstitusi yang dianggap sakral
bisa diubah.
Mulailah sekarang dari pikiran besar itu. Selama delapan tahun kita kenyang dengan masalah pragmatis dan oportunis. Agenda
penting kita bagaimana membangun bangsa plural ini ke depan, apa yang bisa mengikat kita. Bangsa Indonesia dengan konsep 1945
sudah runtuh karena kita dipersatukan negara secara unilateral. Kemudian kita dipersatukan dengan isu pembangunan, diindoktrinasi
nilai Pancasila, yang berbeda dianggap subversif. Apa ekses membangun bangsa dengan cara yang represif itu? Cara itu hanya
melahirkan ketidakadilan. Siapa yang meramal Uni Sovyet akan jatuh? Ilmu politik tak pernah meramalkan. Nyatanya jatuh.
Aceh dan Papua
Lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1976, Kristiadi muda langsung bergabung dengan CSIS yang lekat dengan
image dan persepsi sebagai think tank Orde Baru dan Soeharto. Namun, Kristiadi membantah identifikasi itu. Kristiadi menyadari,
persepsi itu tidak terhindarkan karena CSIS memang didirikan orang dekat Soeharto. €Tapi kalau Soeharto ikut kita,
dia akan selamat, tidak akan jatuh,€ kata Kristiadi.
Kini, ketika rezim berganti, Kristiadi masih sering memberi masukan kepada pemerintah. Untuk soal Papua dan Aceh, misalnya,
Kristiadi terlibat sejumlah pembahasan di Departemen Dalam Negeri. Tapi sebagai peneliti, Kristiadi teguh pada sikap independennya.
€Mereka tahu, kami bisa punya pandangan sendiri. Untuk soal pilkada Irian Jaya Barat, saya protes,€ katanya.
Soal ketidakadilan, Papua dan Aceh jadi agenda khusus?
Dalam otonomi khusus, ada pintu masuk bagaimana mereka mengejar ketertinggalan. Ada sejumlah uang, alokasi tersendiri dana
alokasi umum (DAU). Tapi memang tidak mudah. Otonomi khusus sudah sejak 2001, tapi korupsi juga luar biasa. Papua dan Aceh
setelah otonomi khusus masih sama saja, malah tambah runyam. Membangun bangsa yang heterogen harus mengakui perbedaan. Papua
diberikan otonomi khusus, itu menunjukkan martabat bangsa karena selama ini kita menyia-nyiakan, memperlakukan tidak adil.
Aceh juga. Ini harus dilihat sebagai awal nasionalisme baru.
Otonomi khusus tak bisa menyelesaikan masalah itu?
Karena tidak ada pemikiran besar, apa yang disebut bangsa. Ketika memberikan Majelis Rakyat Papua (MRP), orang Jakarta
heboh, berpikir yang tidak-tidak, terjadi pertarungan ideologi sempit. Kita selalu masuk ke detail yang tanpa orientasi sehingga
terus-terusan berkelahi. Persatuan disamakan dengan keseragaman. Kalau terus terjadi pertarungan ideologi sempit, tidak ada
pemikiran besar, kita akan terjebak dalam pertarungan memalukan.
Bagaimana setahun pemerintahan Yudhoyono-Kalla?
SBY menghadapi kondisi berat karena tidak punya partai. Kendala utama adalah SBY-JK belum punya kekuatan efektif. Partai
Demokrat hanya fans club, belum bisa disebut partai yang efektif untuk mendukung sikap pemerintahan. Bagaimana bisa efektif
kalau menyusun kabinet saja harus berkompromi? SBY sibuk membangun struktur kekuasaan, sementara birokrasi masih produk masa
lalu. Kesialan kedua, begitu SBY menjadi presiden, terjadi bencana di mana-mana di luar estimasi manusia. SBY sudah mencoba
bersikap bersih, empatik, mencoba sigap, namun apa follow up-nya? Mungkin bagi sebagian orang, SBY dianggap tidak tegas.
Apa yang sebaiknya dilakukan Presiden Yudhoyono?
Kekuatan harus dibangun, ini soal pragmatis ketika berhadapan dengan kekuatan politik. Partai Demokrat harus dihidupkan.
Hubungan dengan Jusuf Kalla dan Partai Golkar harus dirapatkan. Gunakan mandat rakyat yang 60 persen. Teruskan agenda reformasi,
seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Integritas juga mesti dijaga, termasuk orang-orang yang dekat dengan dirinya
harus bersih. Pemerintah harus telaten berkomunikasi dengan rakyat.
Bagaimana melihat 2006?
Tahun ini masih merupakan kepanjangan 2005. Perpolitikan tak akan beringsut dari proses yang masih berorientasi pada kepentingan
sendiri-sendiri. Belum banyak perubahan besar, yang masih diributkan soal konflik pemilihan yang aturannya sendiri masih membingungkan.
Sumber:
Kompas