Enter content here

Kopitalisme

Kopitalisme Untuk Rahadian Permadi
Home | The Author | Kumaniora | Hole Spirit | KutuKata | Etalase | Das KOPIkenTal | Kitab al-Capuccino | Tafsir al-Gitar | Perpuskataan | F.U.C.K | Buku Tamu | Kopitalisme Toolbar | Partners | Sponsor | Cafeist Prophecies | Hukum Hukum Kopitalisme | PatanYali Factor | Forum Diskusi

Salam jumpa lagi…
Nampaknya, FPK kita ini lagi rame soal ajakan Pak Mentri diskusi ENERGY di SkyCAFE… Jangan jangan Pak Mentri juga adalah seorang "Kopitalist"? ha..ha..ha..

Anyway, Lennon-Lenin, tulisan itu sendiri aku buat disela selan makan siang, jadi jika memang ada kesan 'generalisasi'…wong emang bukan tulisan buat ditampilkan di media cetak kok, nuisnya aja nggak pake "honor"...wuahh hah hahhh…

Rahadian Permadi:
Gagasannya menarik walaupun tidak spektakuler dan baru. Pemisahan art
dan politik juga sudah lama terjadi.

Kopitalisme:
Saya rasa, diera "Error bin Terror" seperti ini jika mau membuat sesuatu yang "spektakuler", itu susah pak. So for me, the best way to deal with it, is to laugh about it… Laugh about our selves and laugh about the cleverness of the fellow human being … Sebeul masuk ke Lennon-Lenin, perkenankan aku sedikit ngoceh soal "Kopitalisme"…

"Kopitalisme" sendiri saya maksudkan bukanlah untuk membuat pembaca berdecak kagum seakan saya menuntut agar pembaca mengatakan bahwa penulisnya lebih hebat dari Einstein dan atau Sidhharta Gautama. Secara umum, "Kopitalisme" kira kira demikian:

Dengan modal "imaginasi" bisa mengantar setiap pembaca "Kopitalisme" untuk mengeksplore benak (pembaca) sendiri jauh lebih dalam masuk ke 'Eagle Nebula' sekalipun. Bahkan mempermainkan siapa yang lebih goblok antara "Plato" "Saya" dan "Muhammad". Kata "saya" bukan berarti "penulis" tetapi "saya" disitu bearti "yang membaca". Juga dengan mengutak-atik "imajinasi" siapapun bisa mendesain "agama" sendiri-sendiri dan menjadi "nabi" untuk diri sendiri dengan mempermainkan "A Kopitalism Theory of Death" - "Pilar Naracipta" dan "Warung Kopi".

Nah, sekaligus kumpulan tulisan yang "mengejek" serta "mentertawai" mereka yang pola pemikirannya terdikotomi antara "kebenaran saintifik" (Scientific Truth) dan "kebenaran religius" (Religious Truth) 2 dikotomi berfikir yang "menjangkiti" sebagian besar manusia bumi -di barat sekalipun- sejak abad 19. Tetapi tidak bermaksud "menyerang" kedua jenis 'truth' tersebut, hanya sebagai sebuah 'grounding' alternative dari keduanya.

Dan "Kopitalisme" sendiri secara umum adalah "mentertawai diri sendiri dan peradaban" nggak lebih nggak kurang. Sehingga di "darft" situs-nya ada pesan pendek bahwa "Kopitalisme" adalah melihat segala sesuatu secara "karikaturistik" and make fun out of it.

Sementara "Kopitalisme" dan "The Cafeist" itu secara 'real' berbeda… Yang satu kumpulan tulisan, sedangkan yang satu adalah sebuah 'merk dagang' tentang 'how to create jobs' melalui resort development, yang sedang dikembangkan.

Kan aku katakan bahwa 'alam wisata' dan 'café' itu relatively 'universal' tergantung dari mana anda menilainya "seriously" atau "humorously"… Tergantung sepatu macam apa yang anda pakai… Jadi, bagi saya 'seriously' dengan trying to do something about it… And 'humorously' dengan to write something about it… I cannot handle just to sit and 'talk'…

Nah, ngalor ngidul soal "Kopiatlisme" kita masuk ke "Lennon-Lenin". Terima kasih Pak Djajaprana menyumbangkan perspektif tata bahasa, aku nggak mikir sampe kesitu malah….ha..ha… Cuma sekedar hobby aja main "paronomasia"…

Rahadian Permadi:
Namun pertanyaan justru penting dilemparkan dalam perkara John Lennon. Apakah lirik lagunya, yang terdengar sangat politis dalam artian tertentu, merupakan penodaan
terhadap gagasan 'state of art' itu? Bagaimana lagunya Bob Dylan, Ani
Difranco, atau bahkan glam-rock White Lion (lagu hits When the Children
Cry dari album Pride sangat politis demikian juga pada album ke dua Big
Game, Cry For Freedom yang ditulis untuk Nelson Mandela) dipahami?

Kopitalisme:
Mungkin memang ada baiknya beberapa lagu tersebut juga diberi 'tafsir' malah mungkin bagusnya –barangkali- nulisnya secara "berjama'ah" Pak Rahadian dan Pak Djjaprana atau siapapun yang berminat untuk meng –cut & fill dari berbagai sudut pandang?... Well, time will tell… Like I always said "Things –even- Laws are the Followers of the Time"…:)

Tentang, penodaan lirik lagu Lennon terhadap gagasan 'state of art', juga kembali tergantung dari mana anda mengartikan kata 'politik'. "Marketing" sekalipun terlibat unsur 'politik' dalam arti tertentu, Hingga pada level hubungan suami-istri, anak-bapak, antar keksaih bisa juga terdapat unsur 'politik'… Bahkan "Tuhan" sekalipun adalah "Produk Import" dari luar Indonesia yang menjadi "Komoditi Politik" sekaligus…

Itulah, kan pada akhir tulisan aku coba membuat batasan bahwa "Be Lennon" itu nggak ada urusan dengan politik 'identitas-ideologis' jadi, seperti apa yang dikemukakan oleh Pak Djajaprana dengan meng- analogikan "politik praktis-identitas-ideologis " atau apapun yang berorientasi power-kekuasaan sebagai "sumber mabok" yah…kira kira begitulah…

Rahadi Permadi:
Penekanan pada cafe sebagai area netral cukup kontroversial dan juga
kontradiktif. Di permukaan tercermin bagaimana fungsi cafe dalam ranah
interaksi sosial namun itu dilihat sebagai bagian yang terpisah dari
ranah politik. Selain itu analisa dalam netralitas kafe mengabaikan
relativitas dan keragaman dalam budaya.

Kopitalisme:
Again, tergantung dari mana anda menilainya "seriously" atau "humorously"…
Kalau dari "sepatu" yang bapak gunakan (whatever it is) mungkin bisa diartikan seperti diatas, kemudian dikembangkan terus khusus membahas tentang "Kopi" lengkap dengan aspek antropolgi sejarah segala macam soal dan asal muasal "kopi"… Itu juga sudah ada kami uraikan, tapi ujung ujungnya "humor" lagi pak… Karena ternyata "penemu" kopi itu adalah beberapa ekor kambing! Ha..ha..ha…

Jadi, gimana dengan tanggapan Bapak Mentri yang menggunakan 'embel' 'café' pada tempat pertemuannya dengan masyarakat "luas"… Apakah –justru- tidak mendukung teori saya soal 'universalitas' (dalam tanda kutip) dari terminology 'café' yang telah saya kemukakan sebelum sebelumnya? Atau ada 'unsur' politis? (meminjam pemahaman anda tentang 'politik' yang bisa diartikan secara luas itu?) The 'sample' of my theory is right under our noses…!


Rahadi Permadi:
Budaya 'ngafe' bukan hal yang umum sebelumnya di Indonesia. Yang ada
juga warung kopi. Apakah topik pembicaraan di kafe atau warung kopi
melulu trivial? Mungkin ini oversimplification. Secara kasar, di
Indonesia warung kopi atau sejenisnya mencerminkan kelas.

Kopitalisme:
'Café' dan 'warkop' adaah masalah bahasa, yang satu bahasa import yang satu Bahasa Indonesia. Jika di luar negri (setidaknya yang saya perhatikan di Calgary dan Croatia) para pengunjung Café susah dibedakan menurut kelas…

Di Indonesia memang "Warkop" umumnya dikunjungi oleh middle class kebawah, dan Café pengunjungnya adalah middle class ke atas… Dan justru itu aktifitas "Kopitalisme" yang terkamuflase berbentuk 'unusual' NGO kemudian menggabungkan keduanya (café = cafeist – warkop = kopitalisme) dimana pekerja, mahasiswa, pemerintah, pengusaha, hampir semua rektor perguruan tinggi, akademisi, budayawan disatukan dan dikumpulkan secara 'berjama'ah' dalam suatu 'agenda' yang saya 'arsitekin' yakni "A Place for Peace and Cultural Understanding"… Kemudian saya distrubusikan ke berbagai situs sehingga bisa terakses lebih dari 20 situs manca Negara… (jumlahnya terus berkembang)

Lalu kemudian semuanya saya tulis sebagai sesuatu yang 'humorous' bahwa 'café dan warkop' lebih 'universal' dan 'universitas' itu sendiri… Buktinya, mahasiswa di Makassar akhir akhir ini, anda lihat gimana? Saat dulu kami disana, nggak seganas itu gitu kok, khususnya mengenai soal 'ras' … (Note: saya adalah kaum minoritas disana, bukan bolshevik/mayoritas)

Pernah memang ada sohib (salah satu penasehat senior partai besar di Sulsel) yang nyendul bahwa saya "Marxist"…
Well, I am a developer… capitalist-socialist it's just another sociological dogmas. What I am doing it was about social-economy… I'm not interested to talk about capitalist-socialist… (lalu, bisa diterka debat terminologi seperti ini jika ditangkap secara 'akademik' ujungnya yang terjadi hanyalah: Intellectual Exercise)… That’s why I said… "Be Lennon NOT Lennin"…

Tetapi jika anda mau serius mendalami antropologi soal café dan warkop… Silakan. Saya melihatnya secara "karikaturistik" yakni sebagai "karikatur" dari "institusi" dan "universitas".

Rahadi Permadi:
Beda dengan cafe, yang secara umum disinggahi orang yang lebih.
Bayangkan kalau tukang becak harus membayar 10.000 untuk secangkir kopi?
Apakah pilihan ini adalah politik? Ini perlu didiskusikan lebih lanjut.
Namun ditilik dari fungsi sosial dan asosiasi kelas, sudah terkesan
sangat politis.

Kopitalisme:
SeksPeare, bersabda: "Love, light, peace is all about feelings and standards".
Jadi, saya kira memang menarik untuk didiskusikan apakah "perbedaan kelas" tersebut murni karena procedural-administrasi dan penggunaan standard fasilitas serta lokasi yang berbeda antara café dan warkop?

Atau memang dijadikan sebagai salah satu metoda stigmatisasi terjadinya perbedaan antar kelas… Good point Pak Rahadian…

Persoalannya setelah ada hasil diskusi atau seminar atau apalah…. THEN WHATTT?... Apakah kemudian 'café' dilarang? Kemudian penggunaan café diganti dengan warkop? Or what?... Saya hanya terbiasa menggunakan cara fikir: "After "TALK" then "WHAT"…?"

Demikianlah…"what" disini -seperti saya kisahkan café lebih "universal" dari universitas diatas- bahwa saya tidak mendikotomi café vs warkop berdasarkan kelas. Sebagai misal salah satu 'warkop' (bukan café) yang sering saya tongkrongin, juga dijadikan tempat mangkal oleh pekerja kasar, non jobs, makelar dll. Sering saya jadikan tempat menyusun program dengan pejabat (bukan pegawai) pemerintah lokal serta beberapa pengusaha.

Mirip yang sedang dilakukan Pak Menristek, bedanya beliau adalah Menristek, sedangkan saya waktu itu adalah "Peminum Kopi"… Rakyat biasa.

Rahadian Permadi:
Tukang becak, pengendara ojek, preman kampung ngumpul di warung kopi
atau warung indomie untuk bicara masalah apapun termasuk juga
politik--sekalipun dengan bahasa yang sederhana. Di sini kata politik
seringkali diartikan secara baku, terbatas pada pemilu, partai,
ideologi. Apa lagi yang politik? Harga-harga yang melambung tinggi,
sekolah mahal, dan sebagainya. Di negara lain, diskusi politik terjadi
juga di cafe-cafe. Kata revolusi, perjuangan kelas, dan kapitalisme
meluncur begitu saja di udara berbaur dengan aroma keju yang meleleh
dari dapur. Salon dalam revolusi Perancis memainkan peran dominan dalam
penyebaran gagasan yang dalam tahap tertentu bisa mengandaikan if
revolution is simmering.

Kopitalisme:
Demikianlah… Sekali lagi tergantung sepatu apa anda menilainya… Sebagai suatu yang serius atau humorous… Saya sering ngumpul dengan jenis masyarakat yang seperti bapak sebutkan. Bukan untuk menjadi 'retailer' ideology dan bukan pula jadi 'marketing' parpol dll. Tetapi saya memang juga sempat 'ratatanah' gara gara bisnis developer ambruk akibat krismon… I am not talking about them… I was one of them… Saya bisa survive dan bangun hanya karena bisa mentertawai diri sendiri dan keadaan, seburuk apapun keadaan itu…

Serta justru disitu saya bisa menilai bahwa apa yang selama ini dikoar koarkan oleh parpol, tak lebih menjadikan mereka sebagai dagangan politik aja… So, itulah mengapa saya menyikapinya dengan cara pandang yang saya gunakan (karikaturistik)

Bahwa sepintar pintarnya segala macam teori politis-sosiologis-budaya or whatever you gonna call it yang dihasilkan oleh universitas. Ternyata sekumpulan masyarakat ini hanya menemukan "kebebasan" yang di/terbatasi oleh "ruang warkop" saja…itupun harus bayar…:(… Kehebatan teori-teori sosiologis-budaya tersebut hanya di/terbatasi oleh "ruang kuliah"… Dan kehebatan text text visi misi segala parpol hanya dibatasi oleh "ruang rapat kantor dewan" saja… Diluar itu "Welcome to the Jungle" demikian 'sabda' Gun's N Roses…

Lalu, orang yang a-politis seperti saya… what should I do?... Itulah maka saya kemudian "mentertawai" hal tersebut, dengan sekaligus berusaha melakukan sesuatu… Sekalipun juga sempat 'ratatanah', tetapi bertindak bukan asal kritik, bukan asal demo… bukan asal 'berontak'… mengatas namakan wong cilik segala macam…

Rahadian Permadi:
Memang betul pemilik kafe atau warung tidak mempersoalkan agama para
tamunya. Tinggal melayani pesanan dan kemudian mengambil uang sebagai
imbalan, persis sebuah transaksi yang wajar. Toh uang pecahan 50.000
tidak memiliki kaitan dengan identitas Katholik ataupun Islam. Tapi
apakah sepenuhnya seperti itu, kapital tidak mengenal identitas.
Barangkali tidak. Di Sydney kafe-kafe di sekitar Oxford Street, yang
terkenal dengan kawasan orang2 yang memiliki alternatif dalam seksual
orientasinya, memasang bendera berwarna-warni (bendera kaum gay dan
lesbian). Di beberapa tempat juga mengikuti. Apakah ini berarti sama
sekali tak peduli dengan tamunya dan mementingkan kocek saja?

Barangkali tulisan ini akan jauh lebih baik jika ada perbaikan
signifikan, terutama pada struktur argumennya. It is fairly entertaining
nonetheless.

Kopitalisme:
Mungkin memang bisa dikembangkan lebih jauh, lebih jauh diluar dari kerangka "Lennon-Lenin" dan khusus menelaah soal 'café', atau apakah juga masih dalam kerangka "Lennon-Lenin" silakan aja… Seperti saya katakan diatas barangkali kita bisa lakukan penulisan secara "berjama'ah" I am very glad to do it… I am very simple and open minded person…:)

My FUN be with you

Kopitalisme
http://kopitalisme.tk

Enter content here

Enter content here

Enter supporting content here

One of the most universal -morning- ritual is to drink coffee:)