Enter content here

Kopitalisme

Anak Anakku Mau Kemana Kelak?
Home | The Author | Kumaniora | Hole Spirit | KutuKata | Etalase | Das KOPIkenTal | Kitab al-Capuccino | Tafsir al-Gitar | Perpuskataan | F.U.C.K | Buku Tamu | Kopitalisme Toolbar | Partners | Sponsor | Cafeist Prophecies | Hukum Hukum Kopitalisme | PatanYali Factor | Forum Diskusi

RIAU POS

Anak-anakku, Mau ke Mana Kelak?


Selasa, 22 Agustus 2006
Seorang anak kecil berdiri di dalam stroller menyanyi riang gembira di Plaza Sun, Medan, Ahad malam, (14/8/2006) lalu. Dari kejauhan kupandang wajahnya yang ceria, matanya bulat, dan nampak cekatan. Dengan penuh percaya diri dan suara keras ia mengulang-ulang nyanyiannya bagaikan menghafal pelajaran taman kanak-kanak. Aku tersenyum mengenang masa kanak-kanakku, yang rasanya sudah lama sekali. Sungguh aku kagum pada anak yang menyanyi riang sementara ibunya memilih barang dari rak-rak panjang di dalam sebuah Hypermarket.

Anak, kata Kahlil Gibran, bukanlah milik kita. Sekalipun ia lahir karena kita, ia milik masa depan. Wajah anak balita itu masih polos dan memancarkan cahaya kecerdasan. "Anak lahir tanpa dosa", sabda Nabi Muhammad. "Orang tuanyalah yang menjadikan ia Nasrani, Yahudi, ataupun Majusi". Sabda Nabi itu begitu jelas. Tak perlu diperdebatkan lagi. Kitalah, orang tuanya, yang bertanggung jawab atas masa depannya, yang akan mengisi pikiran dan relung hati si anak. Bukan sekolahnya, bukan pamannya, bukan tetangganya, dan bukan negara.

Pendidikan di sekolah adalah salah satu faktor yang dapat memberikan percepatan bagi keberhasilan masa depan seorang anak. Secara stuktural dan bertahap pengetahuan diberikan di sekolah, setahap demi setahap. Dari play group, masuk taman kanak-kanak, lulus SD masuk SMP dan ikut Ujian Nasional di akhir masa SLTA, berjuang masuk perguruan tinggi, dan akhirnya ikut berbagai tes mencari pekerjaan yang layak. Begitulah siklus sederhana seorang anak Indonesia sebelum masuk ke dunia kerja. Anak Indonesia akan melalui semua fasa itu selama 17 tahun. Bila ikut play group dan TK, fasa ini bertambah menjadi 19 tahun. Secara sederhana, struktur pendidikan kita demikianlah adanya, sepertiga usia kita habis untuk pendidikan, apalagi kalau ikut S2 dan S3. Kita, pernah melaluinya siklus ini dengan segala suka dukanya, kecuali mereka yang gagal atau yang tak mampu secara ekonomi.

Sayangnya, waktu yang dibuang selama 19 tahun itu ternyata, sebahagiannya sia-sia. Dimanapun kita berada di Indonesia, pendidikan merupakan suatu faktor yang dipertanyakan orang. Sarjana yang nganggur atau setengah nganggur luar biasa jumlahnya. Apalagi yang hanya sekadar tamat SMP, tamat SMA dan selevel itu sungguh sukar untuk dimengerti. Kadang-kadang terasa ganjil ada mahasiswa yang bangga dan betah jadi mahasiswa. Lulus sarjana ikut sekolah pasca sarjana, mumpung orang tuanya masih sanggup bayar, kilahnya. Barangkali mungkin sebenarnya, karena takut menjadi pengangguran, lebih terhormat jadi mahasiswa berlama-lama. Sungguh ini kemelut yang tak akan habis-habisnya. Yang muncul kemudian biasanya adalah saling menuding. perguruan tinggi menyalahkan SLTA. SLTA mengatakan input siswa yang masuk seadanya, terus turun. Lama-kelamaan yang disalahkan adalah kenapa Indonesia dijajah Belanda, bukan Inggris, misalnya.

Dengan hasil kerja bangsa yang sudah lebih setengah abad, rasanya pendidikan formal kita memerlukan suatu perubahan yang radikal. Dalam banyak kesempatan, dalam seminar-seminar, sering diungkapkan, kalau dulu mahasiswa jiran belajar ke Indonesia, kini anak bangsa belajar kenegeri jiran. Dengan globalisasi, sebenarnya tak ada yang aneh dengan fenomena ini. Karena ini masalah ekonomi demand and supply biasa saja. Tak perlu dihubungkan dengan nasionalisme sempit. Sederhananya kan anak bangsa belajar ke negeri jiran karena di negerinya ia tak punya kesempatan. Baik karena kesempatan tertutup karena faktor ekonomi, karena faktor jumlah kursi yang tersedia, ataupun karena gagal bersaing. Bahkan terkadang hanya sekadar karena lebih dekat dan aman saja. Perlu diingat, bagi anak jati Lancang Kuning, negeri jiran itu jauh lebih dekat daripada ibu kota negaranya.

Suatu sore saya memandang laut biru dari ketinggian sebuah bukit di ujung barat tanah air. Percikan ombak keperakan memantulkan sinar mentari. Dari bawah pohon tua tampak awan komulus menggumpal bagaikan salju membayang di laut bening. Hembusan angin pantai meneduh mata. Ufuk barat tampak nyata melingkar di batas air. Dan tiba-tiba aku menyadari, nun di balik kaki langit, adalah negeri India. Sementara Jakarta nun jauh di sana, apalah lagi di Papua.

Di Jakarta saja, mutu suatu SLTA di tengah kota sudah berbeda jauh dengan mutu SLTA yang berada di pinggir kota. Apatah lagi dengan sebuah SLTA yang kotanyapun tak tertera di peta Indonesia. Pernah, dalam suatu kesempatan sosialisasi pendidikan politeknik di Riau, kami baru menyadari bahwa dalam banyak SLTA di Riau ternyata kelas IPA-nya tidak ada. Sebenarnya tidak ada yang salah bahwa anak Indonesia memilih bidang sosial, namun bila sekolahnyapun tidak mempunyai kelas IPA, berarti kesempatan mereka untuk memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, pupus sudah..

Nampaknya, masalah pendidikan di Riau memerlukan pemikiran dan tindakan yang benar-benar serius. Undang-undang Dasar 45 yang menyuratkan pentingnya pendidikan anak bangsa tidaklah tepat bila sepenuhnya menjadi tanggung jawab Departemen/Dinas Pendidikan saja. Anggaran pendidikan ditingkatkan sampai maksimumpun tidak akan mampu mengangkat kualitas pendidikan anak-anak kita. Kita memerlukan perubahan radikal sistem pendidikan kita. Riau, dengan terbukanya pintu otonomi daerah yang lebih luas, punya kesempatan besar mendisain sendiri struktur pendidikannya. Demikian juga dengan isi, kualitas dan manajemennya. Kesempatan perubahan radikal dalam bidang pendidikan baru akan dinikmati hasilnya seperempat abad lagi, bukan sekarang. Oleh karena itu, mulailah saat ini juga, duduk bersama, saling mengisi memberikan pemikiran bagi kemajuan anak negeri.

Anak lepas balita tadi masih terus menyanyi dengan riang gembira. Ibu dan bapak yang hilir mudik belanja tersenyum simpul melihat ke arahnya. Ia begitu percaya diri. Dan sambil melangkah, aku tersenyum atas lagunya yang telah lama mengendap di relung hatiku yang paling dalam. Apa yang ia ucapkan pernah begitu indah, namun kini hal tersebut merupakan suatu kemewahan bagiku. ''Bangun pagiii.paaagi..aaaa.mat sena..aang!", terdengar sayup-sayup suranya yang sangat bening. Anak ini, Insya Allah, akan jadi putra bangsa. Dan akupun melangkah pulang.***

Ir Syaifuddin Abdullah MMT, Direktur Politeknik Caltex Riau.
Wakil Ketua ICMI Riau.

Enter content here

Enter content here

Enter supporting content here

One of the most universal -morning- ritual is to drink coffee:)