Al-Capuccino: Wild Boys
Siapa yang demen musiknya Duran Duran? Ada yang saya tanyakan pada anda, apakah anda faham text
text, lirik lirik dalam sya'ir lagu lagu Duran Duran itu?
Saya sendiri penggemar Duran Duran, dan ketika –somehow- ketemu orang yang
berasal dari Negara berbahasa Inggris dan juga demen dengan group 80-an itu, dan
bertanya apa mereka faham dengan lirik lagunya, jawaban mereka: Nggak ngerti!
Seperti mereka, saya juga nggak ngerti text text lirik lagu mereka, tetapi saya dan mereka
sangat menikmati irama, rhythm dan beat lagu lagu ciptaan Duran Duran.
Salah satu "sabda"-nya pernah menjadi hits adalah "Wild Boys" dimana dalam salah satu "ayat"-nya
berkata:
"Wild Boys, never
chose this way, wild boys always… shines!".
"Anak liar tidak pernah memutuskan jalan yang 'ini', anak liar selalu bercahaya!"
Dan, jika ditafsirkan berdasarkan "Tafsir al-Gitar", maka 'ayat' itu bermakna:
Anak liar tidak pernah memutuskan jalan yang telah didahului oleh 'pendahulu'nya, tetapi
'anak liar' itu selalu bisa menjadi sumber perhatian dan pemikiran yang dikarenakan oleh pancaran 'aura' dan atau 'cahaya'-nya.
Jadi bisa difahami bahwa tulisan "Kopitalisme" tentang
"Wild Boys" ini adalah dialog antar sesama "orang gila"…
Quote 01: Bung Kopitalisme semoga anda bisa sedkit-demi sedikit memperbaiki
tatabahasanya sehingga pendapat anda tidak dilecehkan
dengan alasan
gila, tidak logis, tatabahsa yang buruk, dlsb. Logis
tidak logis ala jaman sekarang ini hanya soal apakah cukup pinter mengurutkan
kata, tidak lebih kok. End of quote. By. Vincent Liong, "Manusia, Konsumerisme dan Model Model Tuhannya".
Kopitalisme:
Seperti halnya anda, saya juga telah sering mendapatkan
pelabelan 'gila, sinting, dll' tidak hanya di dunia maya tetapi dalam alam realitas. "Kita mau apa?" itu pertanyaan anda, dan telah saya sampaikan pada anda "… Laugh about it…!"
Itulah "siasat" mengatasi 'kelelahan' yang anda alami
saat ini.
"Tertawakan saja mereka itu", sebagai pelajar dibidang
psikologi, tentu anda lebih tahu apa khasiat tertawa, bukan?
Di dunia offline (realitas) salah satu "kegilaan"
saya adalah ketika 1998, membangun sebuah 'LSM' dengan focus kegiatan yang tidak mempunyai sumber anggaran, baik dari institusi luar negri maupun dalam negri. Membangun sendiri visi, agenda agenda, model gerakan, yang
bercorak 'New Age' (non-institusional)
Sementara saya tidak punya background akademik atas
focus kegiatan tersebut. Juga bukan seorang pengusaha yang membidani zona aktifitas itu.
Dan -konyolnya lagi- ketika memulainya, Ngo itu tidak
punya kantor dan tidak punya 'pegawai' tetapi mempunyai agenda 'sinting' yakni 'membelokkan perencanaan kota'.
Padahal, saat itu (1998) berbagai sumber pendanaan
untuk LSM dari luar Negri terfokus pada aspek aspek yang telah diagendakan dari pihak luar, utamanya bagi kegiatan-kegiatan
social-politik (Penegakan Ham, Kesetaraan Gender, Demokrasi, dll)
"Kegilaan" lainnya adalah menjadikan sebuah "kota" yang menjadi 'laboratorium' dari percobaan pemikiran, tersebut.
Sehingga dalam berinteraksi, terkadang dianggap bertentangan dengan faham faham
baku ilmu 'sosial-budaya' yang telah diajarkan secara 'akademik' di kampus kampus.
Namun demikian, meskipun sudah tidak berdomisili
di Indonesia lagi, terkadang "suara" saya tetap bisa 'menggetarkan' beberapa institusi di kota tersebut hanya melalui sebuah
'buku tamu' situs Koran lokal. Pesan 'online' tersebut tertangkap oleh berbagai pihak yang kemudian meneruskan 'kiritk' maya
itu ke sasarannya.
Nah, itulah 'rythme' dan 'irama' yang saya 'nikmati'…
Menjadi 'hantu' yang bisa 'terdengar'…
Pola saya mirip dengan anda dalam 'membaptis' para
praktisi 'Kompatiologi' yakni pola "memukul meja"… Layaknya orang orang berdiskusi di warkop warkop… Gedubrak!
Bedanya, anda berhadapan langsung, saya hanya melalui internet. Jadi posisi anda jauh lebih 'menguntungkan' dibanding posisi
saya dalam memberantas 'virus otak' mereka…
Misalkan dalam salah satu mailing list, "membongkar
otak" seorang ekonom yang melihat aspek "Kapitalisme" dalam sudut pandangnya sendiri. Ketika setelah digebrak, maka dia lalu
menggunakan 'sepatu' orang lain dan menuliskan thread "Setiap Kita Adalah Entrepreneure" yang merupakan "penukaran kata-kata"
atas statement saya: "Kapitalisme adalah Kultur Bangsa" yang sebelumnya dia sanggah sendiri.
Artinya, dia telah menggunakan 'sepatu' orang lain, dan fikirannya sudah tidak lagi dalam status 'mind in the box'
ketika saat menyanggah statement saya, "Kapitalisme adalah Kultur Bangsa".
Demikian pula -di mailing list yang sama- , ketika
saya mengajak seorang scholar, peneliti yang sangat pongah. Dengan mengajaknya
"bertengkar secara kreatif" dalam thread "Voyage to the Bottom of the Soul". Peneliti itu nampaknya nggak punya nyali…
Hal ini saya lakukan melalui mailing list sejak setahun lalu, jauh sebelum anda mendeklare ilmu hasil penemuan anda itu.
Judul, thema, style yang ada dalam gaya penulisan
'memukul meja' tersebut tentu tidak akan match dengan tata bahasa baku yang telah 'ada' sesuai dengan selera akademik
para 'orang tua' yang seharusnya sebagai pendidik kita, yang otaknya berbau 'text book thinking' itu…
Lagi pula apa peduli saya kepada mereka itu? Mengingat
saya -melalui "Kopitalisme" dan "SeksPeare"- memasuki mailing list adalah untuk
sekedar 'dancing in styile', yang -justru- menjadikan mereka sebagai "objek"
dalam "karikatur bertutur" (Tentu tak ada dalam disiplin ilmu sastra baku). Untuk kemudian saya salin kembali dalam lembaran
'Hukum Hukum Kopitalisme'.
Quote 02: Science memang sudah mendekati saat The
End of Science.
Sekolah-sekolah mahal bermodal fasilitas lengkap
bermunculan hanya untuk mengatasi rasa tidak percaya pada pendidikan yang ada
dengan harapan makin mahal sekolah maka makin besar kemungkinan untuk tidak gagal guna di masyarakat. End of quote. By Vincent
Liong, thread yang sama.
Kopitalisme:
'Sains' adalah 'hukum alam', it is the law of the universe.
Satu satunya cara untuk mematikan sains adalah me-non aktifkan bekerjanya 'otak kiri' pada
setiap individu di atas bumi. Untuk inilah maka "Kopitalisme" menjawab: TIDAK MUNGKIN!
Jika ada upaya kesitu, hal tersebut tidak lebih dari kepentingan kekuasaan, ekonomi dan
politik pihak pihak tertentu. Dimana aktifitas 'otak kiri' manusia akan digeser dan kemudian terisi dengan hegemoni 'otak
kanan' yang celakanya berorientasi pada 'believe system' tertentu. Lalu manusia akan seperti robot untuk menerima komando
Sang Guru. Simple saja, amatilah konstalasi 'sos-pol' di masyarakat kita.
Penyebabnya, karena model para 'pendidik' kita memang 'cetek'! Kita bisa amati, bahwa memang
sudah banyak yang telah memiliki "sim" (ijazah, gelar, dll) dalam aspek pengolahan 'otak kiri'. Tetapi pada pengolahan 'otak
kanan' masih banyak yang 'terikat' pada 'believe system' tertentu. Hasilnya dilapangan
menjadi 'carut marut' dan amburadullahirrabbilalamin! Ha..ha..ha…
Contoh:
Quote 03: Adu gila aja biar seimbang. Untung saya masih bisa mikir dengan otak kiri saya.
Sementara, si KopiUpilan ini bukan hanya tak bisa mikir pakai otak kiri. Otak kanannya pun nggak ada isinya. Atau jangan-jangan
di balik tempurung kepala nyahanya ada ruang hampa? End of quote. Manneke Budiman. Manusia, Konsumerisme dan Model Model Tuhannya.
Quote 03 ini adalah contoh dari strategi "objek karikatur bertutur" (Cheerleader pakai rok
mini) yang secara sangat 'telanjang' menunjukkan bagaimana 'space' di otak kanannya telah habis terkikis dan terkontaminasi
oleh 'believe system'. Dapat diamati komentar yang lahir (subjektif) ketika membaca statement "Tuhan adalah Maha Pendosa".
Pada umumnya, seperti 'cheerleader' kita diatas, manusia mempunyai fungsi 'otak kanan' yang
telah 'penuh' terisi oleh 'dogma' dan terkurung dalam 'Religious Truth' (Produk filsafat agama: Tuhan) Dan jika 'space' ini
diutak atik, akan menimbulkan reaksi seperti di atas, pada quote 03 tersebut. Padahal 'ruang' di 'otak kanan' sangatlah 'luas
tak bertepi' dan takkan mungkin kosong hanya karena tidak ada kata "tuhan" disitu.
Kecendrungan (utk melemahkan fungsi otak kiri) itu memang nampak secara kasat mata, misalnya
dengan semakin maraknya gerakan politis berlabelkan 'faith' (produk otak kanan/subjektif) yang ingin diterjemahkan secara
'objektif'. Juga oleh pembodohan pembodohan massal melalui acara acara te-ve, dll.
Sementara institusi pendidikan kita sendiri, diketahui telah terpenuhi oleh "cheerleader
dengan rok mini". Mereka bagaikan jamur dan kuman kuman berikut virus virus akibat pergulatan 'objektivitas' dan 'subjektivitas'
mereka sendiri.
Namun demikian, bukanlah berarti akan tiba saatnya "The End of Science", sebab terlepas
dari berbagai model virus tersebut, 'sains' sebagai suatu 'hukum alam' akan tetap mengalami 'perubahan' dan 'perulangan' dengan
satu ketetapan: Tunduk atas hukum dagang dan hukum ekonomi. Bahkan ajaran milik Plato-pun tunduk atas ketetapan ini. (Telah
saya uraikan siapa yang mengeksekusi ajaran Plato hingga melahirkan era Renaissance, di milis tetangga kira kira setahun yang
lalu)
Dilain pihak, manusia takkan bisa lepas dari dimensi 'objketivitas' masing masing. Andapun juga begitu, mau contoh?
"… Bung Kopitalisme semoga anda bisa sedkit-demi sedikit memperbaiki
Tatabahasanya…"
Artinya ada a-konsistensi dalam statement anda, disatu
pihak mengatakan akan tiba masanya 'The End of Science' dan dilain pihak 'tunduk' atas 'karakter' umum otak manusia yang hanya bisa menggunakan 'otak kiri'nya (Mengusulkan tata cara penulisan sesuai selera 'otak
kiri') Sehingga dalam upaya pelebaran ilmu yang anda 'temu'kan tak lepas dari
penyesuaian penyesuaian atas 'selera' mereka. Sehingga anda membutuhkan 'otak kiri' dari para 'pengikut' anda.
Makanya "Kopitalisme" akan tetap konsisten dengan
groundingnya, yakni "state of art" dan jika merujuk pada 'falsafah' Duran Duran, (ha..ha..ha.. ) Maka style dari penulisan
penulisan dalam "Kopitalisme" tidak akan "tunduk" terhadap jalan (tata bahasa) yang telah 'ada': Wild boys never chose this
way…
Tetapi "Kopitalisme" terbuka kepada siapa saja ingin menuliskan ide ide yang tersirat-tersurat sesuai 'perspektif' tersendiri dari pembaca tanpa ada
kategori 'pengikut/pengajar'.
Sebagai misal, ide dalam "Manusia, Konsumerisme dan
Model Model Tuhannya" yang atas pengakuan Mang Ucup (di milis Zamanku) ikut digemarinya
(Yang secara terbuka juga saya akui saya adalah penggemar oret oretan Mang Ucup) Kemudian ide ide "Manusia, Konsumerisme,
dan Model Model Tuhannya" itu kembali terillustrasikan dalam tulisan "Ucup Almighty (Maha Kuasa)" berdasarkan perspektif Mang
Ucup sendiri. Dan malah dilengkapi dengan sumber sumber 'scientific'.
Jadi saya merasa bahwa tulisan saya itu telah diperjelas,
tanpa harus ada anggapan bahwa Mang Ucup adalah 'pengikut' saya. (Malahan aku yang mohon isin agar tulisan itu aku tampilkan
dalam situs saya)
Juga banyak individu lainnya yang sempat berinteraksi
secara online, kemudian saya coba kumpulkan kedalam "Friends and Union
of the Cafeist and Kopitalisme" (F.U.C.K.) Karena memang demikianlah proses 'cut and fill' yang terjadi, tidak hanya didunia
maya, tetapi juga dalam perkembangan informasi dan pengetahuan kita, dari waktu ke waktu.
Dengan demikian "Kopitalisme" tetap dengan style
dimana text text dan lirik tidak harus sesuai tata bahasa baku,
dan bukan menjadi 'penekanan'. Tetapi yang penting adalah 'rhythm' nya, apakah bisa menyentuh 'mind' para pembacanya atau tidak.
Seperti layaknya penikmat musik Duran Duran, yang penting bisa menghentakkan kaki (meskipun dibawah meja) saat mendengarkan
mereka bernyanyi.
"Kopitalisme" tidak akan pusing, tentang apa celoteh
mereka apalagi mau merubah cara sesuai selera mereka untuk menggunakan kata dan lirik dalam menilai 'musik' apa yang sedang
bermain… Nikmati saja 'rythme' musik yang sedang anda dengar atau yang sedang anda mainkan… Dan -tentunya- falsafah
Duran Duran itu juga sedang saya nikmati…Diantaranya, melalui 'karikatur
bertutur' menghasilkan seorang yang jumpalitan seperti sedang 'disco' ha..ha..ha..
Wild boys, never chose this way, wild boys always shine…
Jreng..Jreng..!!!
May FUN be with you.
Kopitalisme
http://kopitalisme.tk |