Enter content here

Kopitalisme

Proyeksi: Memadukan Nalar, Etika, Hati
Home | The Author | Kumaniora | Hole Spirit | KutuKata | Etalase | Das KOPIkenTal | Kitab al-Capuccino | Tafsir al-Gitar | Perpuskataan | F.U.C.K | Buku Tamu | Kopitalisme Toolbar | Partners | Sponsor | Cafeist Prophecies | Hukum Hukum Kopitalisme | PatanYali Factor | Forum Diskusi

Catatan Kopitalisme:
Artikel "Memadukan Nalar, Etika, Hati bersumber dari "Kompas" 18 September 2006. Oleh ST. Sularto.
Topik ini kami angkat sebagai "Proyeksi" dari DAS KOPIkenTAL: Trust, Businesses and NGOs. Yang terbit SATU SETENGAH BULAN sebelumnya dimailing list Forum Pembaca Kompas (dan beberapa milis lainnya) tertanggal 1 Agustus 2006.

Judul diskusi menawarkan berbagai penafsiran. Kesan itu tertangkap
dari berbagai komentar saat undangan beredar. Diskusi tentang
sosiologi agama, tentang advokasi bagi pengusaha agar tidak serakah,
tentang realisasi semangat keberagamaan, atau tentang tanggung jawab sosial perusahaan?

Komentar seorang calon pembicara, "Jangan saya. Saya bukan pengusaha yang saleh. Urusan bisnis dan urusan surga itu berbeda."

Panitia penyelenggara, Majelis Buddayana Indonesia dan Harian Kompas, tidak ingin membuat teka-teki silang. Bola dilempar dengan sengaja agar memancing perdebatan, menemukan kesamaan persepsi, dan membangun niat bersama.

Sedikitnya pengusaha yang hadir—disesalkan oleh Sulastomo,
Koordinator Gerakan Lurus—sempat membuat cemas. Cemas atas kondisi sikap tak mau tahu, apatis, atau bahkan semua terhenti dalam ruang wacana. Tidak ada pembalikan, tak ada pertobatan, sehingga sia-sia.

Rasa cemas terobati ketika moderator diskusi, Djisman Simanjuntak,
menggarisbawahi pernyataan Jakob Oetama, pertemuan setengah hari itu hendaknya awal sesuatu yang besar. Hendaknya kricikan menjadi
grojokan. Maksudnya, yang kecil diharapkan berkembang jadi besar.

Rasa cemas juga surut ketika seorang panelis memberi harapan tentang keterlibatan pelaku bisnis dalam proses demokratisasi. "Kehidupan berbangsa dan bernegara tidak boleh hanya didominasi pemerintah dengan regulasinya dan LSM dengan advokasinya. Menyangkut kesejahteraan sebuah bangsa, masyarakat bisnis harus diikutsertakan di dalamnya," kata seorang panelis, yang juga seorang pengusaha sukses.

Masyarakat bisnis sebaiknya didudukkan seimbang dengan institusi
sipil dan pemerintahan.

Diskusi sehari itu sekadar tendangan pertama. Diskusi semacam itu
perlu terus dilakukan. Kricikan air hendaknya jadi grojokan.
Pembicaraan dengan peserta terbatas itu diharapkan menjadi awal dari pertemuan- pertemuan berikutnya, yang pada gilirannya menjadi sebuah gerakan.

Salah satu cara di antaranya dengan mendorong masyarakat bisnis
melakukan self transformation dengan cara membangun perusahaan secara benar dan ideal. Masyarakat bisnis tidak hanya mengejar kesejahteraan materi, tetapi juga kesejahteraan sosial dan spiritual, hidup harmonis dengan lingkungan sesuai prinsip saling ketergantungan.

Berbisnis tidak sekadar mencari keuntungan sebanyak-banyaknya,
melainkan menyatukan nalar, etika, dan hati.

Panggung masyarakat bisnis

Pemikir Inggris, Anthony Giddens, di antaranya, mengingatkan,
reformasi negara dan pemerintah harus menjadi prinsip dasar politik
Jalan Ketiga. Untuk itu, perlu dibentuk kemitraan antara pemerintah
dengan agen-agen lain dalam masyarakat madani, dalam hal ini lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat bisnis.

Pemikiran third way (jalan ketiga) Giddens memang tidak "meledak",
terkesan "kurang laku". Tetapi, tidak berarti tak ada yang
menangkapnya sebagai penguatan atas keyakinan reflektifnya selama
ini.

Dalam konteks demokratisasi, Jakob Oetama, misalnya, mengingatkan
perlunya "menyapa" masyarakat bisnis. Media seharusnya dan sudah
saatnya memberi panggung pada masyarakat bisnis, seperti halnya sudah dilakukan terhadap birokrasi dan masyarakat warga.

Mengapa masyarakat bisnis? Sebab ditempatkan dalam konteks demokrasi, kemajuan ekonomi merupakan salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Ukuran kemajuan ekonomi itu jelas terukur. Ada semacam sikap yang rasional, yang teratur, yang ulet, yang produktif (pidato pada Koentjaraningrat Memorial Lecture I, 15/9/04).

Adalah sebuah buku bunga rampai kumpulan makalah hasil penelitian
berjudul Culture Matters. How values shape human progress (2000) yang disunting Samuel P Huntington dan Lawrenge Harrison. Makalah-makalah itu sebelum dibukukan telah dibahas dalam sebuah seminar serius di Universitas Harvard.

Salah satu makalah menyampaikan data konkret dari lapangan. Ghana dan Korea Selatan (Korsel) pada tahun 1960-an menduduki tingkat
perkembangan ekonomi yang sama. Tiga puluh tahun kemudian, bisa
disaksikan perbedaan kemajuan kesejahteraan bangsa di antara kedua
negara itu.

Korsel berkembang sepuluh kali lipat. Tumbuh menjadi negara industri
raksasa, ekonomi terbesar nomor 14 di dunia. Karena apa? Karena
culture matters. Ghana berkembang dalam kultur statis (static
culture), sebaliknya Korsel dengan kultur progresif (progressive
culture), meminjam istilah Lawrenge Harrison dalam artikel buku yang
disuntingnya bersama Huntington itu.

Kultur progresif yang dihidupi Korsel, di antaranya, memiliki unsur
orientasi ke masa depan, hemat, kerja tuntas, pendidikan, penghargaan prestasi, dan penegakan hukum. Unsur-unsur itu berlaku sebaliknya dalam kultur statis.

Relevansi dengan kita, Indonesia, rendah hati itulah kultur kita,
kultur Timur yang pernah dibesar-besarkan sebagai penghambat walaupun pernah diangkat sebagai amat positif dalam Asian Culture oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.

Kita, bangsa Indonesia secara keseluruhan sebagai kelompok budaya,
justru seolah makin tersaruk-saruk dalam keterbelakangan— cermin dari budaya statis—boleh dikata mirip Ghana.

Iklim yang kondusif

Dalam konteks makro di atas, utamanya mengingatkan peranan masyarakat bisnis, topik yang disorot dari berbagai dimensi —dari sisi agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu—seminar ini ibarat gayung bersambut. Lebih jauh lagi yang disasar sebenarnya roh atau spirit agama-agama. Mengintegrasikan pendekatan spiritual—terwujud dalam faktor-faktor budaya progresif—dengan bisnis tidak hanya membuat perusahaan maju, tetapi juga menjadi industri terbaik di bidangnya.

Agama-agama, selain membawakan nilai-nilai keabadian (perennial),
juga menawarkan nilai- nilai yang dari sisi pandang agama dinilai
sementara, di antaranya kesejahteraan fisik, lebih konkret lagi
kemajuan ekonomi.

Penafsiran kebijakan "hidup sekadar mampir ngombe" (istirahat
sejenak) perlu dibongkar menjadi bermakna positif-progresif. Budaya
unggul dalam arti menghasilkan kinerja terbaik, dari sisi finansial
maupun cara, menjadi cara kerja yang terus dikejar, yang antara lain
disemangati hidup keberagamaan.

Kemajuan Korsel yang diidentikkan berkat konfusianisme terjadi oleh
karena kondisi masyarakat-negara yang kondusif. Pemerintah Korsel
melakukan perencanaan industri yang berjangka panjang, dan
dilaksanakan secara konsisten. Iklim yang berkembang menyuburkan etik konfusianisme yang paralel dengan etik Weberian di Eropa maupun
samurai di Jepang.

Dan kondisi ini berbeda dengan kita, Indonesia, yang terus tersaruk-
saruk dengan saling mencari kambing hitam, dan urusan perebutan
kekuasaan politis. Di kita, spiritualitas agama- agama yang coba
dibangkitkan tidak memperoleh iklim yang kondusif sehingga terhenti
pada perkembangan sisi keabadiannya.

Seorang panelis lain menyinggung pentingnya posisi kepemimpinan
sebagai bagian dari iklim yang kondusif berkembangnya nilai etik
agama-agama.

Diharapkan, dalam kondisi yang kondusif itu berkembang kelompok
masyarakat bisnis —konkretnya kapitalis-kapitalis —yang tidak saja
berorientasi keuntungan finansial, melainkan kapitalis spiritual.
Kapitalis spiritual ini berusaha ikut menciptakan dunia yang lebih
baik dengan ikut serta memperjuangkan kesejahteraan, perdamaian, dan kemanusiaan.

Bisnis mereka adalah mandala spiritualitas di mana semua potensi
diaktualisasikan, seluruh satya didarmakan, dan segenap darma
dibaktikan untuk sesama, bangsa, dan negara.

Semangat itu tercipta lebih subur, selain oleh kondisi masyarakat
juga oleh falsafah perusahaan yang menjadi pedoman, sistem, dan cara kerja perusahaan. Untuk itu, dibutuhkan satu pemimpin usaha yang bisa dijadikan role model, yang tidak hanya memberikan arahan jangka panjang, tetapi juga yang mendampingi dengan segala kesabaran, keuletan, dan ketekunan. Tanpa pemimpin yang kuat dan konsisten-berwibawa, core values walau didukung sistem dan infrastruktur lengkap tidak akan jadi perilaku yang berpola untuk seluruh karyawan.

Seminar menyinggung corporate social responsibility (tanggung jawab
sosial perusahaan)—moderato r menyebutnya bukan tanggung jawab, tetapi kewajiban sosial—di antaranya sebagai bagian utuh dari vitalisasi spiritualitas. Dengan memahami kekayaan berfungsi sosial, di tengah semakin banyaknya "korban" globalisasi, CSR perlu memperoleh
penjabaran dan realisasi yang lebih besar. Apalagi sosial-
kemasyarakatan tidak langsung berpengaruh pada keberhasilan dan
kepercayaan usaha, keniscayaan sebuah usaha.

Dalam konteks politik, pendekatan mengingatkan roh keberagamaan dalam dunia usaha sejalan dengan pengembangan teori-teori manajemen yang menyentuh masalah etika agama akhir-akhir ini. Itu menjadi lebih bermakna ketika masyarakat bisnis didudukkan tanpa rasa curiga dalam kesamaan pemahaman dengan dua panggung lainnya—birokrasi dan LSM.


Enter content here

Enter content here

Enter supporting content here

One of the most universal -morning- ritual is to drink coffee:)