Kopitalisme

Kopitalisme II-B
Home | The Author | Kumaniora | Hole Spirit | KutuKata | Etalase | Das KOPIkenTal | Kitab al-Capuccino | Tafsir al-Gitar | Perpuskataan | F.U.C.K | Buku Tamu | Kopitalisme Toolbar | Partners | Sponsor | Cafeist Prophecies | Hukum Hukum Kopitalisme | PatanYali Factor | Forum Diskusi

HUKUM HUKUM KOPITALISME II-B

Apa yang terjadi selanjutnya? Interpretasi yang salah kaprah itu menghasilkan erangan pilu tersayat sembilu bertitel 'Penjajahan Kembali Ekonomi Indonesia'... Mirip lagu melankolis 'Patah Hatiku' olahan vokal nan cengeng 'Rahmat Kartolo' sekian puluh tahun silam.  Well... Thats what happened if you just sitting around, watching those jerks having sex on 'ranjang republik' ....right? No matter what kind of concepts burried deep in your mind… Kenapa tidak jujur saja, bahwa semua orang menikmati 'sanggama' itu selama ini? You, me... we... all of us.

Some people –some how- survived, some people suffering, some people –become – intellectual whores, some people simply are 'rats'… etc. The differences between those groups of people is that: Ada yang jujur mengakui ke-kapitalisan-nya, ada yang ingkar dan munafik. 

Yang ingkar dan munafik akan terus mencari celah celah 'lubang tikus,' dan akan masuk kedalam 'kamar sanggama' itu. Hanya waktu yang akan membuktikan kelompok 'people' mana lagi yang jadi mangsa dan akhirnya 'layu kekeringan'… Kecewa… Ngambek… Lapar… Marah…. Lapar… Ngamuk!… Dan? Akan bermunculan lagi 'pendekar-pendekar' melakukan riset, membuat konsep… buku… puisi… Untuk dijual… So, we are all damn 'hungry capitalist'. Lalu…dimana 'people' menjadi 'subjek'? Diatas kertas kertas koran, sebagai komoditi industri berita? Di atas kerta kertas riset, komoditi industri pendidikan? DI MANA? .... 'People' akan  kembali 'dimasukkan' ke dalam kotak kotak isme-isme.... Karena memang –demi sesuap nasi- mereka itu mau dan gampang 'dihalau' kesana.  

Bagi yang terkesan akan keindahan dan gemulainya kata kata 'demi rakyat' dalam 'menjual' konsep (Ekonomi Frankensteinistik) itu, tentu akan mengambil posisi dalam kotak kotak dikotomi 'kapitalis-sosialis'. Itu yang terjadi selama ini, itulah fenomena yang ada.

Disini, ada baiknya saya menitipkan "sabda" seorang Leonard Cohen dalam 'surah' *Everybody Knows* Ayat pertama, yang bunyinya demikian: "... Everybody knows good guys lost, everybody knows the fight was fixed, the poor stay poor, the rich get rich. That’s how it goes… Everybody knows". 

Lalu apa yang bisa diperoleh masyarakat jika hanya dipertontonkan pada huruf huruf diatas kertas kertas berisi 'dongengan akademistik' itu? Apa lapangan kerja semakin terbuka? Apa manfaat psikologis yang mereka dapatkan guna menanggung beban? Another theory? And then, what next? Setelah 'teori' anda anda laku, anda menuai panen dalam 'industri pendidikan' –atau- Anda melenggang kangkung dalam 'kamar sanggama' berlabel 'DPR'?…

Be… Son on a Beach!

'Pembelotan' difase interpretasi ini hanya dapat terbaca dan dimengerti bila seseorang telah melewati tingkat transisional sebagai 'Greedy –son of a beach- Bastard Capitalist.' Tetapi tidak akan mudah dimengerti bagi mereka yang terperangkap oleh pola pola fikir atau paradigma ekonomi yang sifatnya 'frankensteinistik' –meminjam terminologi  Mr. Poltak Hendarto.   Atau mereka yang telah terkotak kotak dalam isme isme, meskipun dia itu periset asli ataupun gadungan tukang contek hasil olah fikir orang lain.

Itulah mengapa hingga terdapat 'usulan' menggelikan dengan munculnya 'per -mak comblang- an' antara Kopitalisme = = > Ekonomi Kerakyatan, lalu yang diuraikan kemudian berupa model 'ekonomi sosialist' dengan kemasan 'Ekonomi Pancasila' dikenal dengan julukan 'Ekonomi Frankestein'.  'Ekonomi frankensteinistik' tersebut dicangkok –justru- oleh para ekonom dari UGM, sebuah institusi yang dikenal sebagai gudangnya tukang jaga pohon 'Ekonomi' di kebun kita 'Nusantara' nan kicau beliau itu.

What Went Wrong?... Where do we go now?

"Salah bumi mengapa bulat" Teori Galiloe Lagaligo, termaktub dalam kitab http://sekspeare.tk Ayat 17, adalah –mungkin- menjadi salah satu penjelasan mengapa manusia sering berputar putar atas nama kepintarannya sendiri.

Kopitalisme ketiga nantinya adalah tentang "Kemana kita?" sesuai pertanyaan yang dilontarkan oleh "Guns and Roses".... Where do we go now… where do we go?"  dalam  surah "Sweet Child O'mine."

Bersambung

Sinyalemen "Kopitalisme" tentang tingginya pengangguran serta kritikan atas 'Sosiologi' berthema "Where do we go now, sweet child o'mine" juga ditanyakan beberapa bulan kemudian (22 Agustus 2006) Oleh sebuah Artikel di Riau Post, Anak Anakku Mau Kemana Kelak?

Enter supporting content here

One of the most universal -morning- ritual is to drink coffee:)