Membangun kembali puing-puing reruntuhan bangunan ekonomi dan budaya.
Nomor message: 61570, Mon Sep 12, 2005 2:48 am ----------------------------------------------------------
"Kepada
Presiden Yudhoyono yang sekarang sedang memimpin Operasi Kurs, saya ingin menegaskan bahwa faktor kepercayaan, trust, social
trust, public trust adalah yang paling dominan dalam perang melawan badai kurs. Rakyat Indonesia terlalu sering dibohongi
beberapa presiden. " (Christianto Wibisono)
* * *
Pentingnya Social trust, Public trust: ------------------------------------------------- Pendapat Christianto
Wibisono ini menggemakan kembali teori Amartya Zen ttg perlunya Social Trust, dan Social opportunities - shared utk mensukseskan
pembangunan yg kata lainnya menjadikan masyarakat produktif, kapitalis, tinggal landas, maju, developed country. Sekaligus
tulisan Chris menyinggung diskusi panjang di milis apakabar ini dgn topik sekitar: Neo Liberalisme vs Bulaksumur School of
thought. Mungkin diam-diam si Chris ini ikut milis Apakabar sebagai ROM-er:). Bayangkan saja, disitu berbagai topik diskusi
di milis ini bermunculan, mulai dari extremisme gerakan Islam sbg sistem alternatif, sampai pemotongan mata uang rupiah pada
masa presiden Sukarno, Suharto. Dari masalah harus tidaknya menghapus subsidi BBM, nasionalisme ekonomi, sampai pandangan
Cak Nur vs Negeri-negeri Islam di TimTeng yang jeblok Human Development indexnya. Tapi tentu saja jangan ge-er (gede rasa)
dulu ya, topik2 itu juga ada di media-media kita lho atau di milis2 lain.
Memang untuk membangun suatu masyarakat kapitalis
yang human, Indonesia sebagai negara raksasa berbasis sistem agraris, tidak bisa begitu saja mengadakan lompatan drastis,
tiba-tiba. Rakyat dan birokrat sama sekali belum siap. Penganut faham kapitalis radikal di milis Apakabar ini mungkin sudah
tidak sabar dengan segala kelambanan pemulihan kebijakan ekonomi yang ada. Begitupun juga yang masih merindukan sistem sosialis
masa lalu, juga tidak sabar utk bisa melihat terjadinya perombakan sistem secara radikal. Terlepas apapun sistemnya
seandainya perlu ada revolusi budaya dan sistem, lompatan drastis yg harus dilakukan, paling kurang ada 2 sisi yang sangat
penting harus diperhatikan: Emporwerment civilian society untuk mewujudkan Clean & Good Gorvernance. Saya dahulukan perlunya
pemberdayaan masyarakat sipil, karena keroposnya sistem birokrasi yg nampak tertatih-tatih, berat sekali melakukan pemberantasan
korupsi (bandingkan misalnya kritik-kritik pedas thd Jaksa Agung: Abulrahman Saleh - atau super lambannya Kapolda Sutanto
membereskan puluhan-ratusan perwira dan jenderalnya yang bank accountsnya berisi uang audzubillah minzalik banyaknya). Tidak
ada jalan lain, tidak dengan hanya menggantungkan pada LSM-watchers, namun rakyat harus bergerak, mendesak, mendobrak. Tidak
juga dengan hanya melalui privatisasi BUMN, penghapusan subsidi BBM dll.
Rakyat Indonesia sudah begitu biasa dilayani
pemerintah (sering dikatakan sbg terlalu lama dalam sistem sosialis). Tragisnya pemerintah pada masa lalu terjebak dalam sikap
serakah, rakus, tidak ada lelahnya menggarong, merampok, mencuri, maling uang rakyat dengan tanpa belas kasihan. Ini
kenyataan yang mau dipoles dan ditutup dengan alasan apa saja sudah tidak bisa ditolerir lagi. Akibatnya dalam usaha
merevolusi sistem, yang dilakukan rakyat kebanyakan paling juga sampai pada mengeluh, ngomel, complain dan akhirnya meledak
dalam kerusuhan sosial.
Dalam bahasa Christianto Wibisono lugas dan jelas dinyatakan: "ELITE Indonesia hanya bisa
jadi predator terhadap masyarakat awam yang selalu menjadi mangsa kebijakan partisan, sektarian, primordial, Machiavelis dan
munafik. Semua berslogan nasionalis, patriotik dan bahkan moral atau agama dan mengatasnamakan rakyat yang tertindas dan menderita.
Namun realitanya, birokrat dan politisi sektarian predator hanya memperkaya diri, menikmati menyalahgunakan fasilitas
kekuasaan untuk hidup mewah nikmat megah tujuh turunan tanpa khawatir anak cucunya jadi melarat kembali."
Lalu harus
bagaimana? -------------------------------
Mendesaknya pengesahan Undang-Undang Kebebasan Informasi dan Perlindungan
Saksi: ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Rakyat
Indonesia sejenak terpana karena kapal Angkatan Laut berhasil menangkap penyelundup minyak mentah di Lawe-Lawe. Namun kepuasan
sesaat ini belum sepenuhnya bersifat revolusi sistem menuju Clean and Good Government. Kita sudah melihat mulainya terjadi
tarik ulur utk memperlambat penyelesaian masalah. Direktur Pertamina dan jajarannya mulai ngomong ttg pentingnya periksa minyak
selundupan itu di laboratorium, masih akan diperiksa di lapangan dan seterusnya. Kita hargai usaha mereka yang sudah memecat,
memutasi, menurunkan pangkat, pegawai-pegawai Pertamina yang masih bersemangat maling. Namun sekali lagi ini semua masih belum
cukup menuntaskan masalah.
Semua pendekatan atau resep yang dipakai saat ini adalah Top-Down approach. Pemerintah melalui
institusinya atau membentuk institusi baru, untuk membereskan kejahatan, permalingan, pencurian yang sudah menjijikkan. Dalam
pendekatan semacam ini, selalu ada saja jalan utk memperlambat, menunda, menutup-nutupi perkara agar akhirnya dilupakan oleh
masyarakat. Seringkali saya tulis, umur perkara tingkat nasional itu cuma 2 bulan. Setelah itu kempes dan birokrat atau koruptor
maling bisa bermain seenak-enaknya utk menyulap perkara. Ada saja cara utk membuat rakyat lupa dan melupakan. Mulai dari menyuap
wartawan, LSM, sampai merekayasa terjadinya issue besar lainnya sbg pengalih perhatian. Bisa saja aksi-aksi ngawur dari AGAP,
BAP dll, di tingkat paling atas, adalah usaha cover-up atau menutup masalah-masalah korupsi di kepolisian dan birokrat pemerintahan
daerah dari segala lini. Rakyat ketakutan dan akhirnya juga takut melihat dompet pejabat itu dari gaji atau dari usaha mencopet
dan mencuri uang rakyat.
Pendekatan dari bawah: Right Information - Participatory Budgeting - Checks and Balance ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Kelambanan
DPR mengesahkan undang-undang Kebebasan Informasi dan Perlindungan saksi, adalah intrik, taktik licik dari para wakil rakyat
yang berselingkuh dengan para koruptor. Yah mungkin begitu kasarnya, tentu bisa diperhalus ya ungkapannnya. Namun yang penting
inti dan hakekatnya: dengan disahkan dua undang-undang itu, terdapat beberapa akibat atau effek yang secara luar biasa memberdayakan
rakyat. Rakyat tidak bisa lagi dipermainkan oleh alasan-alasan hukum atau administrasi, untuk meloloskan para maling dari
jerat hukum dan birokrasi pemerintahan. Revolusi sistem berubah dari top-down menjadi bottom-up.
Negara-negara berkembang
yang sudah sukses memberantas korupsi biasanya memakai tiga formula diatas. Lalu terjadi simbiose yang sangat bagus dari kekuatan-kekuatan
rakyat dan para birokrat, pengusaha, pejabat yang jujur. Pejabat-pejabat korup tidak bisa lagi menyuap atau membungkam wartawan
dgn amplop tebal, karena tidak akan mampu menyuap begitu banyak kekuatan yg bisa membongkar kejahatannya. Misalnya saja
lalu akan muncul institut jurnalis investigatif, yang secara sangat serius dan mendalam bisa mengakses pada data-data suatu
sistem pemerintahan atau pimpinan yg dianggap korup. Seandainya institut ini bisa disuap, masih ada lagi LSM lain yg membongkar
kolusi itu. Atau pejabat yang jujur akan menegasi paparan investigatif melalui media yang lain.
Oleh karena itu, para
mahasiswa dan BEM seluruh indonesia, tingkatkan kwalitas protes dan demo-demo anda. Kalau cuma meminta agar para koruptor
diadili, itu sudah kuno dan tidak akan effektif. Yang penting sekarang adalah menyerbu DPR agar undang-undang kebebasan informasi
dan perlindungan saksi segera disahkan. Kalau tidak ya jangan heran kalau rakyat indonesia yang sudah terbungkuk-bungkuk oleh
kemiskinan yg berat ini tetap akan dikhianati, dirampok, digarong, dan dimaling oleh para pimpinannya. Dengan cara kasar atau
cara halus licin berbelit.
Usaha-Usaha lainnya: ----------------------------- Pertama, mensosialisasikan
seberapa tragis kebangkrutan ekonomi bangsa ini. Istilah aksinya: financial assesment. Para ekonom, analis, jurnalis mestilah
pandai menggunakan gambaran sederhana tentang berapa cadangan devisa pemerintah sekarang ini. 32 milyard US dollar itu artinya
apa bagi negara raksasa ini? Lalu berapa uang yang telah dikorupsi para pengusaha dan pimpinan perusahaan (istilah halusnya
dana-dana IMF yg macet waktu bail-out dulu), misalnya 600 trilyun rupiah itu artinya apa? Bagaimana bisa ditarik kembali utk
menambah cadangan uang pemerintah? Lalu uang yang dikorupsi para birokrat sekarang ini (boleh juga dulu waktu Suharto - Mega
- Gus Dur) berapa? Dari Pertamina misalnya: 35 trilyun rupiah per tahun. Dari Kepolisian yg sudah nampak mata sekitar 5-6
trilyun rupiah. Lalu dari Angkatan Darat berapa trilyun? Begitu seterusnya. Dengan demikian para analis, jurnalis, LSM dan
ekonom, membantu rakyat untuk melihat kenyataan yang sebenarnya. Sedikit membantu mencerdaskan disamping kenyataan sehari-hari
yg mereka lihat melalui semakin beratnya hidup mereka utk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kedua, melihat bolong-bolong,
bocor, kroposnya sistem birokrasi dan sistem ekonomi kita. Mengapa usaha utk membereskan sistem di Pertamina tidak jalan alias
macet, walaupun sekitar 1-2 bulan lalu TIB sudah memperingatkan, menengarai adanya ketidak beresan itu? Mengapa usaha cleaning
itu nggak jalan? Mengapa Jenderal Sutanto terus menerus menunda pembeberan fakta korupsi yg menimpa jenderal dan perwira2nya,
walau Police Watchers - LSM yg bergerak mengawasi kinerja polisi telah berkali-kali menuntut keterbukaan? Contoh-contoh semacam
ini tidak akan ada habisnya utk ditulis.
Salam harapan: *** teewoel
|