DAS KOPIkenTAL: LENNON & LENIN
Perkenankan saya mengawali tulisan ini dengan kalimat "Be… Mr.
Lennon, NOT Mr. Lenin!"
Selanjutnya mari kita simak 'tafsir' a'la 'Kopitalisme' atas surah
'Imagine' yang disabdakan oleh Sir. John Winston Lennon (1940 -
1980) pada 'ayat ayat' berikut:
"Imagine, theres NO COUNTRIES… It isn't hard to do… Nothing to kill or
die for… And NO RELIGION too…"
Tafsir:
Secara literal agak sulit -setidaknya saat ini- untuk membayangkan
kita ini tanpa Negara, meskipun menurut Mr. Lennon tidak sulit
melakukannya (it isn't hard to do) Kata 'to do' ini kami tafsirkan
sebagai 'membayangkan' – ' it isn't hard to do, to imagine'.
Sebagai misal, kita masing masing harus dilengkapi passport sebagai
document identitas diri yang menyebutkan asal dari Negara mana, jika
kita bepergian ke luar negri. Demikian halnya ketika kita sedang berada
dalam negri, document identitas kita, yakni 'ktp' terdapat kolom
'agama' sebagai bagian dari identitas tersebut.
Seperti halnya di dalam negri untuk check in ke sebuah hotel, maka
penunjukan ktp adalah bagian dari prosedur, pun juga diluar negri,
document identitas dalam wujud passport tersebut dibutuhkan sebagai
syarat administrasi-legal-formal. Demikianlah pada taraf tertentu
'mimpi' dari Mr. Lennon tentang 'no countries' dan 'no religion' belum
bisa 'membumi'.
Namun ada beberapa tempat yang bersifat 'universal' dimana anda
tidak perlu menunjukkan document identitas anda, yakni: Ketika
sedang berada dalam kawasan alam wisata dan dalam sebuah 'café'.
Di dalam sebuah café, kita bisa duduk bercengkrama, minum kopi
bersama dengan orang orang yang berasal dari kota atau Negara lain
tanpa mempersoalkan tempat asal kita masing masing secara
administrative-legal-formal. Kalaupun diangkat sebagai topic 'chit-chat'
hanya dalam konteks sharing info dan pengalaman serta kultur masing
masing secara ringan.
Para pemilik café sejauh ini pula tidak ada yang
merasa perlu
mempersoalkan agama masing masing sebagai sebuah 'institusi'
pembeda derajat manusia dan kemanusiaan pengunjungnya. Tidak
pernah terdengar ada café untuk orang yang beragama anu dan untuk
orang yang beragama itu. Atau café yang hanya diperuntukkan bagi
pengunjung yang tingkat 'ketaqwaannya' dijamin oleh 'institusi' ini dan
kelompok si itu. Semua setara dan sederajat. Yang membedakan
adalah setelah minum apakah itu kopi susu, kopi kental, atau
cappuccino, anda membayar atau tidak.
Melihat dan mengamati kehidupan serta tingkah laku manusia dalam
ruang café tersebut, memang tidaklah sulit untuk membayangkan
'mimpi' Mr. Lennon: " Imagine, all the people living live in peace…"
Mari kita menyimak 'ayat' selanjutnya:
" You may say I am a dreamer… But I am not the only one."
Memang Sir. John Winston Lennon tidak sendirian sebagai seorang
'pemimpi'. Dan dari 'ayat' ini 'Kopitalisme' mengajak untuk sekedarnya
menengok 'mimpi kaum Bolshevik.'
Jauh sebelum surah 'Imagine' tersabdakan, tepatnya pada tanggal 25
Oktober 1917, juga terdapat seorang 'pemimpi' yang mempunyai impian
yang mirip dengan 'ayat ayat' yang disabdakan oleh Mr. Lennon. Yakni
sebuah tatanan PERADABAN masyarakat yang equal, setara dan
sederajat tanpa kelas. Sebuah tatanan peradaban masyarakat yang
tidak lagi terdapat ketimpangan dan ketidak adilan. Kekayaan Negara
dinikmati secara merata tanpa kasta kasta, dan tidak ada asset yang
menjadi hak milik pribadi. Tatanan masyarakat tersebut hidup damai
tanpa agama!... Nothing to kill or die for… And no religion too!
Nama 'Pemimpi' yang menjadi 'Pemimpin' kaum Bolshevik tersebut
adalah Vladimir Ilyich Ulyanov (1870 – 1924)... Siapa lagi kalau bukan
Lenin!
Jika keduanya -Mr. Lennon dan Mr. Lenin- sama sama memiliki mimpi -
yang relative- sama, atau setidaknya mirip. Lalu mengapa pada awal
tulisan ini ada seruan untuk menjadi Mr. Lennon dan tidak atau bukan
menjadi Mr. Lenin?
Kopitalisme: Ideologi
Adalah Opium!
Dalam alam kehidupan Komunisme dibawah pemerintahan Lenin, coba
katakan "I love Capitalism!" maka nasib anda bisa dengan mudah
diterka: kamp kerja paksa.
Sebaliknya, coba katakan "I miss Communism!" di alam seni, dalam kehidupan 'state
of art', maka anda akan berakhir di panggung pertunjukan! Tidak percaya?
"I miss Communism!" adalah one-woman show yang dipertunjukkan pada Edinburgh Festival Fringe, pada musim panas 2005.
Yang mendapatkan nominasi dari Amnesty International Award dan Writer's Guild Award.
Pertunjukan One-woman show tersebut diperankan oleh Ines Wurth dengan memainkan 15 buah karakter. Dia adalah seorang
akris Croatia yang berdomisili di Los Angeles,
dan dalam show tersebut menceritakan pengalaman hidup saat kekinian yang tersimbolkan dengan seragam cheerleader Amerika,
maupun kisah masa kanak kanak berusia 7 tahun yang tersimbolkan dalam seragam Pioneer Komunis Yugoslavia.
Sesungguhnya peran tersebut dimaksudkan sebagai sebuah drama yang mencoba menangkap moment moment komedi. Namun tentunya
agak sulit menangkap apa yang lucu, jika sampai pada kisah tentang peperangan: Pecahnya Yugoslavia.
Ines Wurth adalah anak seorang professor sebuah universitas di kota Zagreb,
dengan kehidupan masa kecil yang sangat miskin. Yakni hidup di alam Yugoslavia,
dibawah kepemimpinan Josip Broz Tito (1892 – 1980)
Dengan demikian, Ines Wurth menjalani kehidupannya dalam dua buah 'dunia' yang berbeda: Komunisme dan Kapitalisme.
Apa yang dirindukannya dalam alam 'Komunisme' adalah saat ketika dia masih kecil dan masih polos. Belum memahami 'realitas'
hidup yang sesungguhnya. Memang semua orang sibuk bekerja sebagai suatu keharusan
mengejar 'mimpi'. Dan dilain pihak terdapat pula 'realitas' ketika orang tuanya bekerja sebagai dosen di universitas
memiliki gaji yang sama dengan tukang pel lantai universitas atau gaji tukang pangkas rumput. Saat ketika generasi orang tuanya
ngantri mendapatkan makanan, dan dilecehkan oleh penjaga toko. Karena si penjaga toko tak mungkin kehilangan pekerjaannya,
meskipun pelayanannya amburadul. Semua barang yang terbaik disimpan dan hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki akses terhadap
pengurus setia partai. Bukan didapatkan berdasarkan kompetisi dan kreatifitas. Sebuah kenyataan yang tidak sempat dicerna
oleh Ines 'kecil'.
'State of mind' Ines ini mungkin 'paralel' dizaman ketika penulis sedang
asyik asyiknya mengganggui rekan se SD dengan sebutan "Makmur cendol" si anak ingusan berwarna kehijauan seperti cendol. Dan
selalu bersembunyi dibalik nama kakaknya itu. Sebuah 'state of mind' dimana penulis menganggap dunia adalah tempat
bermain dan bersenda gurau belaka.
Demikianlah, menurut beberapa sumber individual maupun kelompok organisasi kemasyarakatan apa yang mengakibatkan pecahnya
negri Yugoslavia tersebut adalah keretakan
ketahanan ekonomi dalam penerapan system pemerintahan. Yang kemudian terpicu oleh persoalan politik – ideologis yang
mencuat dan meruncing. (Selama ini banyak yang menganggap bahwa perang Balkan adalah perang antar agama, Islam-Bosnia, melawan
Serbia-Kristen, padahal antara Croatia dan Serbia yang sama sama Kristen adalah 'kontestan' perang Balkan yang termasuk paling
lama setelah Kosovo yang relative masih berlangsung hingga saat ini)
Kehidupan sosial-kemasyarakatan dimasa kekinian Croatia, sebagai
salah satu pecahan dari Yugoslavia, terdapat
masih cukup kental dengan nuansa komunal – kekeluargaan maupun komunal – religius ( Katholik )
Dalam amatan langsung "Kopitalisme" tentang apa yang dikatakan oleh Karl Marx sebagai "Agama Adalah Opium" sudah sepantasnya
mendapat koreksi dari "Kopitalisme" bahwa agama bisa mendatangkan kebajikan hanya jika tidak dijadikan sebagai ideology politik!
Untuk itu maka bukan hanya 'agama' saja bisa menjadi opium, tetapi 'ideology' sekalipun bisa menjadi 'opium'!... Nothing to
kill or die for…
Kota Zagreb kini dipenuhi oleh berbagai jenis café yang indah indah dengan suasana perkotaan yang didesain sesuai 'human scale'.
Text-text teori teori -seberapapun idealnya- disertai dengan jargon jargon, slogan slogan "Perubahan Tatanan Peradaban"
yang disulap -sedemikian sehingga- menjadi 'ideology' bisa menjadi candu bagi masyarakat dan rakyat kecil untuk sekedar dijadikan
KOMODITI POLITIK… Seperti halnya apa yang dapat diperoleh tentang 'perubahan
tatanan peradaban' setelah 8 tahun Reformasi di Indonesia? Slogan Kosong?
Tidak ada lagi waktu untuk jargon jargon… No more Talk… Talk… Talk… Tetapi Kreatif, Kreatif
dan Kreatif !...
Dan tidak perlu lagi ada "Lenin" baik dalam skala besar maupun dalam "skala kecil" di tingkat dan skala 'religi' maupun
'akademistik' sekalipun…
Tentu ada yang bertanya, mengapa 'YES' to LENNON? Tetapi 'NO' to LENIN? Jawabnya sederhana, Mr. Lennon mengutarakan
mimpinya melalui 'state of art'… Nggak ada urusan dengan tetek bengek politik 'identitas-ideologis' apalagi hanya
untuk menjadikan sesama manusia adalah 'Komoditi' belaka! … So, say NO to LENIN!
May FUN be with you
Kopitalisme
http://kopitalisme.tk